38| Keras Kepala

27 7 5
                                    

Keras kepala lo bakal jadi bumerang untuk diri lo sendiri.

*

**

“Siapa tau lukanya cepet sembuh karena gue cium,” sambungnya terdengar datar.

Metari betah diam, masih berusaha mengumpulkan jiwa yang sudah terbang ke awang-awang. Jemari tabal Baruna tergerak menyentuh lembut pucuk jamari Metari. Gadis itu tertegun, seolah ada sengatan kecil yang menyengat Metari untuk kesekian kalinya.

“Tangan elo dingin banget Ta,” cetusnya. Semakin menggenggam erat jemari gadis itu.

“Gue gugup,” jujurnya naif. Baruna yang mendengar mengangkat sebelah alis.

“Kenapa elo jadi peduli banget sama gue?”

Baruna tersenyum tulus, lesung pipi pria itu terlihat begitu manis ditambah mata bulan sabitnya. Sebelah jemarinya mengusap lembut pucuk kepala Metari.

“Gue udah banyak ngasih luka, sekarang saatnya gue yang nyembuhin luka itu,” balas Baruna tulus. Metari yang mendengar tersenyum getir, gadis itu langsung menarik Baruna dalam pelukannya. Tindakan Metari yang tiba-tiba membuat Baruna sedikit kaku.

“Makasih Bar,” lirih Metari pelan.

Gadis itu semakin mengeratkan pelukannya, menjinjit mensetarakan tinggi dengan Baruna. Jika biasanya Baruna tidak pernah membalas pelukan Metari kali ini pria itu membalas pelukan Metari. Mengusap pelan punggung gadis itu, sesekali tersenyum tulus saat detak jantungnya bisa merasakan detak jantung milik Metari. Malam yang sunyi seolah menjadi saksi bisu dari awal kisah Metari dan Baruna.

“Gak pa-pa kan kalau gue peluk?” tanya Metari, gadis itu sudah mendongak menatap Baruna. Sudut bibir Baruna kembali tersenyum tulus, mengusap pelan kening Metari.

“Lama juga boleh,” balasnya terdengar jail. Metari berdecak pelan, memilih melepas pelukannya lebih dulu.

Melangkah mengikuti Baruna memasuki tempat itu. Jemari mereka masih merekat layaknya pazzel yang terpasang begitu sempurna. Langkah mereka menuju salah satu piano yang berada di dekat jendela tanpa kaca. Terdapat kursi kayu berwarna cokelat lumpur. Baruna menarik perlahan mempersilahkan Metari duduk lebih dulu.

“Belajar nada dulu ya Ta.” Metari hanya mengangguk mengiakan kalimat Baruna. Pria itu sudah mulai memainkan jemari diatas tuts piano. Metari dengan fokus tinggi berusaha membedakan nada yang terdengar. Sesekali gadis itu ikut menekan tuts seperti Baruna. jamrinya berusaha keras menerka tuts mana yang harus ia tekan.

“Tekan aja, enggak usah ragu-ragu, biar elo tau salahnya dimana,” celetuk Baruna ketika sadar jemari Metari semakin ragu menekan tuts piano.

“Elo liat jari gue,” perintahnya. Metari langsung fokus pada jemari Baruna. Gadis itu mengerti, kembali mencoba memainkan seperti yang Baruna ajarkan.

Metari melakukan berulang-ulang. Berusaha keras mengingat setiap chord. Ia terus memainkan jemari di atas tuts mengabaikan rasa keram yang mulai menjalar jemari lentiknya.

Sesekali gadis itu menggigit bibir bawah, menahan rintihan yang semakin kentara. Jemari lentiknya masih meninggalkan banyak bekas senar saat mencoba berlatih memainkan gitar. Kali ini pun tak ada bedanya. Jemarinya berhasil terasa kaku, dan juga perih ketika menekan tuts begitu lama.

Baruna yang sadar Metari mulai menekan tuts dengan posisi yang tidak karuan, ditambah melodi yang keluar terdengar begitu ngasal. Jemari tebal Baruna langsung menarik cepat jemari Metari meniupi jemari gadis itu. Metari meringis, semakin lama jemarinya semakin terasa perih.

Happy Sunset Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang