8| Anggap Saja Kado

37 10 111
                                    

-Tidak perlu mahal, karena yang sederhana pun sudah sangat istimewa-

***

Metari memilih menangis dalam diam, susah payah menahan isak yang memaksa mengudara. Hatinya ikut berdesir menerima perlakukan Baruna, dengan cepat punggung tangannya mengusap kasar bekas air mata di pipi.

"Gak capek lo terus-terusan gue sakitin?" hardik Baruna ketus. Metari diam gadis itu enggan menanggapi, perkataan Baruna semakin menambah sesak di dalam ulu hatinya.

"Ck! Gimana elo bisa mencintai orang lain sementara elo enggak tau cara mencintai diri sendiri?!" Baruna masih betah membentak namun Metari masih betah mempererat pelukannya. Pria itu menarik napas dalam membuang perlahan.

"Lepas," bentak Baruna mendorong kasar tubuh mungil Metari. Gadis itu tersentak, namun senyum tulus di sudut bibirnya enggan pudar.

"Jangan modus sama gue!" peringatnya ketus. Metari diam saja.

Baruna langsung melempar helm pororo ke arahnya. Helm yang sempat ia pinjam pada Deffan. Biasanya pria itu selalu membawa helm cadangan karena Deffan sering pulang bersama Gladis.

"Cepet naik," perintahnya. Metari langsung saja naik duduk di jok belakang.

Di sela perjalanannya Metari sempat menghubungi Pak Danang-sopir yang biasa menjemput dirinya, agar tidak menunggu Metari lebih lama lagi.

***

Hampir dua jam Baruna mengajak Metari berkendara, selama itu yang mereka lakukan hanya mengelilingi tama kota. Baruna tidak tahu harus mengajak gadis itu kemana, dia juga enggan bertanya pada Metari juga enggan memberi jawaban pada Metari.

Gadis itu selalu bertanya, "Bar kita mau kemana?"
Namun tetap Baruna hanya diam, sesekali melihat wajah lesu Metari lewat pantulan spion.

"Gue sampek lupa udah berapa kali kita ngelilingi taman kota," cetus Metari cepat. Masih tidak ada jawaban dari Baruna. "Mau sampek kapan kaya gini terus, buang-buang bensin," tambahnya kesal. Ia mendengus.

Baruna itu bisu apa bagaimana, tak satu pun pertanyaannya dipedulikan.

Metari membuang napas kasar, mencondongkan wajahnya mendekat Baruna. "Bar gue laper," jujurnya yang sudah tidak tahan lagi. Untuk kali kesekian Metari hanya dibuat bungkam, Baruna masih enggan menanggapi. Pria itu tersenyum smirk.

Pandangannya langsung mengedar mencari tempat makan yang menurutnya tidak bisa Metari terima.

Dengar-dengar Metari katanya anak orang kaya mana mungkin gadis itu sudi makan di warung makan itu. Baruna langsung saja menghentikan motor di dekat persimpangan, tepat di depan warung makan yang begitu kecil, ada spanduk yang memperlihatkan menu nasi campur dan aneka jus.

Metari turun, alisnya berhasil tertaut melihat kedai itu, matanya langsung saja membesar melihat deretan motor besar yang terparkir rapi. Suasana hatinya semakin tidak menentu.

"Elo beneran mau ngajak gue makan di sini?" tanya Metari sedikit tidak percaya. Dari raut wajahnya saja Baruna bisa menebak jika gadis itu tidak suka.

"Kenapa? Elo gak suka?"

"Bukan gitu gue gak suka makan nasi campur disini," bohongnya. "Ditempat lain aja asal jangan disini," tambah Metari terlihat membujuk.

Tapi bukan Baruna namanya jika dia mengikuti permintaan Metari.

"Udah gue tebak, orang kaya macam elo itu pasti gak sudi kan makan di tempat ini!" ketus Baruna langsung meninggalkan Metari memasuki kedai itu.

Happy Sunset Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang