51| Titik Tumpu

19 5 4
                                    

Bertumpu pada kemungkinan yang nyatanya sangat tidak mungkin. Menyakitkan namun aku memilih bertahan.

***

Semenjak kejadian malam itu, hidup Metari nyaris berubah, meski pelik hadir membut dirinya begitu terluka namun ia sadar senang juga tidak pergi begitu lama.

Pagi ini Metari duduk di meja makan, bersama Lanang dan Clara, meskti tidak saling melontarkan cerita, sudah berada dalam satu meja saja rasanya sudah senang. Gadis itu menikmati roti isi dengan selai kacang.

Hening yang berkepanjangan berhasil menyelimuti suasana kala itu. Lanang pun terlihat lebih tanang, sementara Clara, wanita itu masih terlihat pucat meski terlihat sekali dari caranya memaksakan diri menikmati roti isi.

“Ma, mau Meta buatin salad buah?” Clara langsung menggeleng menolak tawaran Metari. Gadis itu membuang napas kasar, menatap dalam roti isinya.

“Pamit dulu Ma, mau berangkat,” pamit Metari namun sekali pun Clara tidak terlihat menanggapi, wanita itu hanya mengangguk, mengiakan kalimat Metari. Gadis itu tidak mengatakan apa pun lagi, bangkit bediri hendak meninggalkan mereka.

“Mau gue anter?” pertanyaan itu berhasil membuat Metari membeku. Ia menatap Lanang dengan tatapan penuh tanya, merasa diabaikan Lanang tersenyum kecut, menggerakan jemari solah mengusir Metari dari tempat itu juga.

Metari menggigit bibir bawahnya, berjalan pelan keluar dari rumah, tak lupa kata pamit kembali ia lotarkan meski nyatanya tidak ada yang menjawab lontaran Metari.

“Mas Danang enggak perlu antar saya, saya mau naik bis,” ucap Metari pelan, sangat pelan hinggnya rasanya seperti gumaman. Mas Danang—sopir pribadinya menautkan alis, menatap punggung Metari yang sudah menjauh.

“Non, enggak mau saya antar?” terik pria paruh baya itu. Metari tidak menjawab tidak juga menoleh. Gadis itu hanya menyilangkan kedua lengannya di atas kepala sebagi tanda jika Mas Danang tidak perlu mengantar dirinya.

Metari terkejut bukan main, melihat Baruna duduk di atas motor besarnnya. Balutan jaket hijau toska itu masih membalut sempurna tubuh tegapnya.

Pria itu menampilakn senyum termanis yang ia punya, beranjak turun menedekati Metari. Jemari tebalnya langsung terjulur memberikan gadis itu bouket bunga baby breath. Senyum itu sama sekali tidak pernah pudar.

“Kenapa harus bunga baby breath,” tanya Metari pelan. Gadis itu masih betah diam, menerima bunga yang Baruna berikan.

“Baby breath melambangkan ketulusan dan cinta abadi—“

“Kamu mau ngasih itu ke aku Bar?” potong Metari cepat. Metari bahkan tidak berkedip, tidak pula mengubah ekspresi datarnya. Raut wajah ceria yang entah akhir-akhir itu sangat jarang Baruna lihat.

“Why not?” Metari tersenyum getir.

“Thank you my happy sunset,” gumamnya namun Baruna masih bisa mendengar dengan jelas guman gadis itu.

Jemari Baruna langsung mengenakan helm pororo di kepala Metari. Di pegangnya bagian sisi helm, membuat manik Metari tenggelam sempurna pada manik Baruna. Untuk kali kesekian Baruna tersenyum getir, menyatukan kening pada helm gadis itu.

“Jangan sedih lagi Ta,” katanya, berhasil membuat dada Metari sedikit berdesir.

***

Deru motor Baruna melaju pelan, jalanan yang lengang tak membuat dirinya melajukan motor dengan kecepatan tinggi, jam masih pagi ia ingin Metari lebih lama bersama dirinya.

Happy Sunset Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang