56| Pahit

15 3 0
                                    

Meski pahit, kamu juga harus menikmati rasa sakit.

***

“Elo kenapa bisa putus sama Metari?” suara berat itu terdengar sedikit ketus.

Angkasa duduk di tepat di depan Baruna. Pria itu tengah memainkan rubik yang hampir tersusun warnanya. Sejak siang tadi Angkasa bertanya bahkan berita Baruna memutus hubungan dengan Metari sudah tersebar cepat ke seluruh SMA Cendekia.

Petang ini Angkasa harus tahu pasti, apa yang menjadi alasan mendasar Baruna memutus hubungannya dengan Metari.

“Harusnya elo seneng dong bisa deket sama dia,” celetuk Barua santai. Angkasa yang mendengar sedikit bingung, ada apa dengan Baruna kenapa sikapnya seperti itu.

“Elo kenapa? Cemburu liat gue meluk dia tadi siang, elo harusnya enggak putus sama dia,” katanya masih berusaha tenang.

Baruna tersenyum samar, meletakan asal benda persegi itu memilih membalas tatapan Angkasa yang masih saja teduh. Ingatan tentang Angkasa dan Metari terputar jelas dalam ingatannya. Perlahan Baruna menelan ludah kasar, menarik napas panjang. Bagaimana pun Angkasa tetap saudara kembarnya.

“Bukannya gue cemburu. Tapi gue pikir, Metari akan jauh lebih bahagi kalau dia sama elo. Semenjak dia pacaran sama gue, dia jadi sering kena masalah Sa,” tutur Baruna datar. Pria itu mengingat kembali apa yang sudah Metari rasakan.

Patah hati hingga dibenci dengan semua orang.

“Gue bahkan enggak bisa ngejaga rahasia dia Sa,” tambahnya pilu. “Semakin dia dekat sama gue, semakin gue ngerasa bersalah.”

“Bar gue sama dia—“

“Gue tau kalian cuman temen, gue enggak masalah tentang itu, tapi jujur gue ngerasa Metari selalu ngerasa lebih nyaman kalau sama elo,”

“Bar—“

“Gue belum kelar,” katanya berdecak pelan.

Angkasa diam, menatap dalam manik Baruna. jemari tebal Baruna menepuk pelan pundak Angkasa menarik senyum tipis lalu kembali membuang muka.

“Dia selalu bilang kalau gue ini happy sunset-nya dan elo happy sunrise-nya.” Kalimat Baruna terdengar ambigu, sulit bagi Angkasa menerka kemana arah pembicaraan pria itu.

“Kalau sunset pergi, sunrise akan datang. Kalau gue putus ama dia, masih ada elo yang akan ada buat dia. Gue hadir buat ngasih dia luka Sa, dan elo hadir buat nyembuhin luka itu.” Smirk kecil Baruna terlihat begitu kentara. Tatapan pria itu gamblang, tergambar jelas raut ragu dalam rahang kekarnya.

“Putus sama Metari mungkin pilihan yang tepat,” tambah Baruna terdengar hambar.

“Gimana cara gue biar elo yakin kalau gue enggak ada rasa sama Metari,” cetus Angkasa datar. Pria itu masih menatap teduh manik Baruna, betah diam menunggu balasan pria itu.

“Sa, elo enggak perlu yakinin gue, cuman gue aja yang ngerasa kalau Metari sama gue lebih baik putus, gue cuman enggak mau aja kalau dia dapet masalah lagi.” Angkasa masih tidak percaya dengan keputusan Baruna, namun tatapan Baruna mengatakan jika sedikit pun tidak ada dusta dalam setiap kata yang Baruna sampaikan.

“Elo sendiri yang bilang Yessy dalang dibalik semua ini, mungkin dia enggak akan berhenti buat ganggu Metari sebelum gue putus sama Metari, elo paham maksud gue kan Sa?” tambah Baruna mencoba meyakinkan Angkasa.

Happy Sunset Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang