37| Baruna Kenapa?

26 8 0
                                    

Jangan biarin orang lain nyakitin elo, termasuk gue.



***

Metari mendongak mendapati Baruna sudah berdiri menatap lekat wajahnya. Entah sejak kapan pria itu berada disana.

Baruna memang berniat datang untuk menemui Metari, namun ia menghentikan motor berjarak sekitar 200 meter saat pagar rumah itu terbuka lebar. Memilih untuk diam, melihat Metari yang terus-terusan memohon agar Lanang mendengrkan dirinya, sampai saat Lanang pergi, Baruna baru berniat untuk melangkah mendekati gadis itu.

Baruna sedikit membungkuk, jemari tebalnya langsung menarik Metari membawa gadis itu memasuki rumah. Baruna memapah Metari, niatnya ingin membawa gadis itu ke dalam rumah, namun Metari menyuruh untuk membawa ke dekat joglo. Perlahan Baruna menarik  kursi kayu itu membiarkan Metari duduk di kursi itu.

“Dimana gue bisa ambil kotak obat?” tanya Baruna membuat Metari langsung menunjuk lemari gantung yang ada di sudut joglo itu. Dengan langkah panjang Baruna langsung melangkah mengambil kotak obat itu.

“Kening elo biar gue obatin ya,” ucapnya yang sudah menarik kursi duduk di sebelah Metari.

“Enggak perlu repot-repot Bar,”

“Diem aja lo!” ketusnya. Metari mengalah membiarkan Baruna membersihkan luka dikeningnya.

Suasana yang semakin kaku. Metari betah diam begitu juga dengan Baruna. Pria itu terlihat sibuk mengobati luka Metari. Memasang plaster dengan telaten, membuat gadis itu sedikit terperangah. Sudut bibir tersenyum getir saat Baruna menatap lekat manik sendu cokelat madunya.

“Makasih Bar,” getir Metari. Kepala gadis itu masih terasa sedikit pening, mengabikan Baruna yang terus-terusan menatap dirinya dengan tatapan nyalang.

“Udah gue bilangkan jangan biarin orang lain nyakitin diri lo,” ketusnya. “Termasuk gue,” sambungnya begitu cepat, mendengarnya Metari hanya tersenyum tulus. Seolah mengatakan pada Baruna jika semuanya baik-baik saja.

“Gue udah biasa sama luka kaya gini, ini gak sakit kok Bar—“ 

“Ta, bisa elo sekali aja ngerti sama apa yang gue bilang?” potong Baruna ketus. Pria itu memijat pangkal hidungnya, kali ini dia yang berhasil dibuat pening. Baruna menghela napas panjang, jemarinya perlahan merekatkan plester pada kening Metari.

“Kepala lo masih pusing?” tanyanya pelan, tatapan mata Baruna masih menatap begitu tajam.

“Enggak. Elo ngapain ke sini,“

“Niatnya mau ngajakin elo latihan piano,” balas Baruna kelewat cepat. “Di rumah gue.”

Metrai sontak saja terkejut mendengar apa yang Baruna katakan.

Di rumahnya berarti gadis itu harus bertemu dengan orang tuanya. Apa lagi sudah malam seperti ini.

“Kalau di rumah elo, gue gak mau—“

“Kenapa?”

“Gue belum siap aja ketemu sama orang tua lo, tapi Bar—“

“Tapi apa?”

“Deket sini ada tempat untuk piano, gue bisa latihan disana—“

“Jadi maksud lo elo enggak mau latihan sama gue?”

“Bukan gitu Bar,” resah Metari. Gadis itu tersenyumm getir melihat Baruna yang sudah berdiri menatap lekat manik cokelatnya.

“Elo kenapa Ta? Giliran gue yang mau deket sama elo, elo malah buat jarak kaya gini, elo enggak suka gue bantuin?” cetus Barna cepat.

Happy Sunset Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang