47| Sekian Kali

24 6 3
                                    

Kamu tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya, karena kamu tidak pernah ada di posisi ini.



***

"Gimana rasanya jadi pacar gue?" pertanyaan iu sukses membuat Metari menatap dalam manik Baruna. Malam ini setelah Baruna mengatakan perasaannya pada Metari kedua remaja itu memilih pergi dari Bazzar lebih awal.

Tepat di kafe depan sekolah Baruna kembali menarik jemari Metari menggenggam begitu erat berhasil membuat gadis itu sedikit tersentak.

Kaget bukan main menyadari Baruna kembali bersikap begitu manis.

Katanya begini:
Ta, elo kalau senyum jangan banyak-banyak nantik gue diabetes.

Metari yang mendengar mengerjap cepat, bibir mungilnya terbuka sedikit masih tidak percaya jika Baruna baru saja menggoda dirinya.

"Tadi elo modusin gue Bar?" heran Metari masih betah mempertahankan raut tidak percayanya.

Gadis itu tersenyum samar, sadar pucuk jemari Baruna mengusap lembut punggung tangan gadis itu. Sentuhan hangatnya lag-lagi berhasil meninggalkan sengat kecil yang berhasil membuat pipi gadis itu bersemu merah.

"Sorry ya kalau gue ga bisa romantis," katanya sedikit kecewa. Metari diam sama sekali tidak seperti itu meksud kalimatnya. Ia senang sekali pun Baruna masih membentak dirinya setidaknya gadis itu sudah behasil membuat Baruna menjadi kekasihnya.

"Kata-kata tadi dari Carel" sambung Baruna dengan tawa jenaka yang kembali terdengar.

Detik berikutnya Metari menghapus jarak diantara mereka, menjinjit mensetarakan tinggi dengan telinga Baruna. Sudut bibirnya tersenyum hambar, bahkan Baruna bisa merasakan hembusan napas Metari menyentuh daun telinga pria itu.

"Enggak perlu romantis yang penting humoris." Kalimat sederhanya yang baru saja Metari lontarkan, membuat Baruna menoleh cepat.

Sangking cepatnya ujung hidung Metari menyentuh begitu sempurna ujung hidung Baruna. Jarak mereka yang begitu dekat berhasil membuat Metari menjadi kaku. Gadis itu kelu, dengan gemuruh jantung yang semakin berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

Tatapan Baruna dan cara pria itu menyentuh punggung Metari semakin membuat gadis itu kelu. Jemari tebal yang menyentuh pelan bagian punggungnya seolah menyita seluruh perhatian Metari. Perlahan Baruna membekap punggung mungil gadis itu. Untuk kali kesekian Baruna membawa Metari dalam pelukannya.

"Elo denger kan detak jantung gue? Gue suka beneran sama elo Ta," katanya datar. Metari mendongak menatap rahang tegas milik Baruna dan sialnya tatapan mereka saling terkunci.

"Kalau elo tanya gimana rasanya jadi pacar elo? Gue seneng, mungki terdengar klise, tapi gue seneng, karena gue mencintai dan gue juga dicintai," balas Metari pelan. Baruna tersenyum tulus melepas gadis itu dalam pelukannya.

"Elo akan selalu jadi sunset gue," balas Metari mengeratkan pelukannya pada Baruna. Aroma mint langusng tercium begitu pekat ketika Metari membendamkan kepala pada dada bidang pria itu.

Membiarkan malam menjadi saksi bisu menyaksikan semua perasaan yang selama ini tertahan dalam relung. Gadis itu masih betah membekap Baruna, memeluk begitu erat seolah tidak mau jika Baruna pergi lagi untuk kali kesekian.

"Kalau gue jadi sunset berarti hadir gue cuman sesaat? Begitu maksudnya?" suara berat milik Baruna terlontar begitu datar, menunduk menatap teduh manik Metari yang tengah mendongak menatap lekuk wajahnya. Metari diam cukup lama, perlahan melepas Baruna dalam pelukannya.

"Gak pa-pa kalau elo cuman hadir sesaat dalam hidup gue," balas Metari pelan.

"Setidaknya pernah hadir," tambahnya singkat.

Happy Sunset Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang