Tidak mau berharap, namun hatiku selalu berharap.
***
"Sunsetnya indah ya Bar,” celetuk Metari masih betah menatap hamparan langit yang mulai kelabu. Sudut bibir Baruna tersenyum singkat, pria itu hanya berdehem menanggapi.
“Kayanya apa pun yang indah di dunia perginya selalu lebih dulu.”
“Manusi lahir kembali untuk merasakan rasa sakit, semua yang indah itu cuma sementara Ta, elo harus paham ini,” balas Baruna cepat.
Metari yang mendengar tersenyum getir, merasa seharian ini Baruna lebih hangat, entah apa alasannya. Pria itu masih betah menatap indahnya langit yang sudah mulai kelabu. Tatapannya teduh, dengan senym tipis yang masih tercetak disudut bibir pria itu.
“Ada orang yang hadirnya itu kaya sunset, cuman sesaat, biar elo tau kalau hidup elo enggak sekelabu itu, elo enggak sesendiri itu, enggak ada orang yang bener-benar sendiri, elonya aja yang merasa sendiri.” Baruna terkekeh mendengar kalimatnya, sejak kapan ia menjadi sepuitis itu, entahlah setidaknya kalimat yang baru saja ia lontarkan mampu membuat Metari sedikit lebih tenang. Ia kembali mengambil batu, melempar begitu jauh.
“Kalau elo mau, elo bisa ngerasa bahagia sesulit apa pun masalah yang elo hadapi Ta,” sambungnya pelan. Pria itu masih betah berdiri melempar batu sejauh apa pun yang ia bisa.
“Gue jadi kangen sama Nana” celetuk Metari asal. Baruna yang mendengar menoleh menatap lurus gadis itu. sebelah alisnya terangkat seolah bertanya kenapa.
“Nana?” herannya.
“Dia orang yang dulu pernah ngelindungi gue, dia juga pernah benci sama gue, tapi sekarang gue rasa dia dateng lagi untuk ngelindungi gue, entah lah gue rasa Tuhan ngasih dia disaat gue ngerasa terpuruk, dan sendiri. Dia selalu ada saat gue berner-bener ngerasa sendiri. Gue harap dia gak pernah lupa sama gue.”
“Dia cewek atau cowok?” tanya Baruna terlalu tiba-tiba. Sudut bibir Metari tersenyum getir.
“Cowok,”
“Elo suka dia?”
“Hmm, dia baik,”
Baruna berahsil di buat bungkam. Wajahnya tampak pias, seolah-olah merasa tersaingi padahal tidak ada yang menyaingi. Tatapan teduh itu tidak lagi terlihat, yang ada hanya tatapan nyalang menatap lengat manik Metari. Disaat Baruna ingin dekat dengan gadis itu, ia malah mendengar pujian Metari untuk orang lain.
Kenapa dia jadi kesal.
“Dia dulu suka manggil gue dengan sebutan, babi putih,” gumam Metari pelan, namun Baruna masih bisa mendengar gumaman gadis itu.
“Elo lupa ya Bar?”
“Emang gue kenal Nana lo,” sewot Baruna. Suasana hatinya cepat sekali berubah.
Metari tersenyum kecut. “Elo lupa ternyata.”
Hening cukup lama, Baruna yang terus melempar batu sementara Metari hanya diam. Menerka kalimatnya yang mana yang mungkin membuat Baruna menjadi dingin kembali. Bersama Baruna ia seolah diajak bermain jungkat-jungkit.
Disatu waktu Baruna bisa membuat Metari merasa dirinya begitu istimewa dan juga merasa begitu asing. Baruna seolah mengajak dirinya terbang lalu dijatuhkan begitu saja. Metari menarik napas panjang menghela perlahan.
“Bar?” panggilnya. “Maka—“
“Ayo pulang nantik keburu malem,” potong Baruna cepat. Pria itu melangkah lebih dulu tanpa menunggu Metari yang masih duduk ditempatnya. Dengan langkah panjangnya Metari berusaha mengikuti jejak Baruna yang kelewat cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Sunset
Teen Fiction#Follow dulu ya Luplup💜 Update tiap hari selasa, kamis dan sabtu. Ps: kalau gak update hari itu berarti update di hari besoknya:)# *** -Kisah cinta ini seperti mactha late, punya rasa pahit yang khas- Metari bukan gadis yang pantang menyerah, sela...