Dia yang telah pergi namun memilih berputar arah, hanya karena satu rasa yaitu peduli.
***
“Ta,” panggil Baruna cepat. Metari menghentikan langkah, namun masih betah memunggungi Baruna. Punggung tangan gadis itu mengapus cepat buliran bening yang berhasil membasahi pipinya.
“Maaf kalau kata-kata gue yang tadi itu kasar banget,” sambungnya pelan. Metari berbalik menatap teduh manik Baruna. Tatapan yang paling Baruna tidak suka, seolah-olah dirinya yang paling jahat.
“Elo harusnya gak lakuin itu Bar, lo harusnya gak usah nolong gue—“
“Kenapa?”
“Karena gue tau Kak Lanang cuma gretak gue doang, dia gak bakal mungkin sakitin gue, dia juga gak sejahat yang elo pikir,”
“Maksud lo?”
Metari diam cukup lama. Ingin mengatakan secara gamblang namun pikirannya ikut beranomali.
Apa mengatakan pada Baruna adalah pilihan yang tepat?
Apa pria itu akan mau menjaga rahasianya?
Apa pria itu bisa menjadi tempatnya untuk bersandar?
Banyak pertanyaan yang ia ingin tahu jawabannya, namun ia sadar Baruna mungkin akan menatap dirinya dengan tatapan kasihan.
Metari tersenyum tulus, menggeleng pelan, kembali menatap teduh manik pria itu.
“Lupain aja Bar, gak penting juga, obatin luka elo ya, sekali lagi gue minta maaf,” balas Metari pelan. Tanpa menunggu balasan Baruna gadis itu kembali melangkah namun dengan cepat jemari tebal Baruna menahan pergelangannya.
“Elo gak mau bagi rasa duka lo ke gue?” pertanyaan Baruna sukses membuat hati Metari berdesir. Ia membuang muka melihat apa pun asal bukan manik Baruna.
“Oke gue gak bakal maksa, tapi gue jamin elo sendiri yang bakal cerita ke gue, entah kapan, yang jelas gue bisa jaga rahasia elo,” ucap Baruna begitu tulus. Metari langsung menoleh menatap dalam manik Baruna. Tatapan pria itu sendu, tidak lagi tajam seperti tadi.
“Elo mau pulang?” Metari mengeleng. “Terus?” sambung Baruna.
“Mau beli pepaya,”
“Oke gue anter, kalau agak salah depan persimpangan ada yang jual pepaya,” jemari tebalnya langsung menarik cepat pergelangan Metari.
Baruna diam, kali ini apa lagi yang ingin Metari lakukan, meski Baruna menarik cepat pergelangannya namun gadis itu tetap diam.
“Bar elo pulang aja obatin luka lo,” pintanya lirih. Ia semakin bersalah melihat wajah Baruna dengan warna biru pucat terlebih darah kental terlihat di sudat bibir dan juga keningnya.
“Elo siapa berani nyuruh-nyuruh gue?” hardiknya cepat.
Metari ini maunya apa dibaikin malah ngelunjak. Menyebalkan.
“Bar, lo kaya gini nyakitin gue banget,” balas Metari perau. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan, pandangannya sampai membuyar. Metari benar-benar tidak kuat, setiap kali melihat wajah Baruna yang penuh luka, ia semakin merasa bersalah, harusnya Baruna tidak perlu menolang dirinya. Gadis itu menunduk menyamarkan isak yang mulai terdengar.
“Kenapa elo nangis? Gue yang luka elo yang nangis,” cebik Baruna menahan kesal.
“Karena gue-gue ngerasain rasa sakit elo Bar, gue gak pa-pa Kak Lanang lukain gue, gue udah biasa, gue bener-bener gak pa-pa gue juga udah sering dikasarin sama dia, gue ngerasa bersalah liat elo kaya gini Bar, gue-gue—“ ucapan Metari yang lantang itu terdengar bergetar, semakin lama hatinya bertambah sesak, gadis itu semakin tidak bisa mengontrol emosinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Sunset
Teen Fiction#Follow dulu ya Luplup💜 Update tiap hari selasa, kamis dan sabtu. Ps: kalau gak update hari itu berarti update di hari besoknya:)# *** -Kisah cinta ini seperti mactha late, punya rasa pahit yang khas- Metari bukan gadis yang pantang menyerah, sela...