42| Curhat

36 8 3
                                    

Bahagia itu hanya sementara, namun rasa sakit selalu mendominasi, jadi nikmati saja rasa sakitnya.


***

Deru napas Baruna naik turun, sedikit sesak ketika melihat Metari sedekat itu dengan Angkasa. Pria itu mengepalkan jemari, melangkah lebar mendekati mereka.

“Bar gue—“

“Angkasa nolongin gue, yang hampir tenggelem Bar,” potong Metari cepat. Gadis itu bangkit berdiri menatap lekat manik Baruna.

Menolak untuk percaya namun tetap saja Baruna diam, menatap setiap pergerakan kecil yang Angkasa lakukan. Meski Angkasa tidak mengatakan apa pun namun Baruna sadar, pria itu terlihat sangat risih ketika Baruna yang terus menatap tepat di manik Angkasa.

Jemari Baruna terjulur, menepuk pelan pundak Angkasa. Pria itu menatap dalam manik Baruna, seolah mengatakan jika dirinya tidak bermaksud melakukan hal yang tengah Baruna pikirkan.

“Makasaih udah nolongin dia,” katanya pelan.

Baruna tersenyum menarik Angkasa dalam pelukannya. Angkasa masih diam ketika Baruna memilih untuk melepas rangkulannya. Pria itu tersenyum getir sadar kehadirannya mungkin bisa saja membuat Baruna menjadi salah paham.

“Gue duluan Bar, Ta,” pamit Angkasa memilih untuk menjauh meninggalkan mereka.

Baruna tidak menjawab, sementara Metari menatap nanar kepergian Angkasa. Entah kenapa namun gadis itu merasa jika Angkasa sedikit berbeda ketika Baruna datang.

“Bar gue—“

“Ganti baju lo Ta, gue antar pulang,” potong Baruna cepat. Pria itu bahkan tidak menatap Metari, memilih mengalihkan pandang melihat apa saja asal bukan manik Metari.



***

Baruna melajukan motor dengan kecepatan sedang, pandangan pria itu hanya fokus pada jalanan, meski ia mendengar suara Metari yang terus bertanya, sekali pun tidak Baruna jawab. Pria itu hanya diam, betah mendengarkan setiap kata yang Metari lontarkan. Merasa diabaikan gadis itu memilih menatap pantulan wajah Baruna lewat kaca sepion. Jemari lentiknya betah menggenggam erat jaket jins hijau toska yang selalu Baruna kenakan.

Laju motor Baruna melambat tepat di depan gerbang bercat hitam. Metari langsung saja turun, masih merasa canggung menyadari Baruna yang hanya diam menatap lurus jalanan. Bahkan mesin motor pria itu masih terdengar begitu nyaring.

“Mau mampir dulu Bar?” tawar Metari sedikit ragu. Gadis itu masih betah menatap Baruna menunggu balasan dari pria itu. Metari menggigit bibir bawah, sadar Baruna yang tak kunjung membalas kalimatnya.

“Bar,” panggilnya pelan. Dengan gerakan cepat Baruna langsung menoleh menatap tajam tepat di manik Metari, tatapan yang selalu Baruna lemparkan ketika pria itu merasa marah pada Metari. Sudut bibirnya tersenyum samar.

“Elo suka sama Angkasa?”

Metari kelu. Pertanyaan Baruna terlalu tiba-tiba untuk ia dengar. Tatapan yang Baruna lemparkan pada dirinya bahkan semakin membuat Metari merasa tidak nyaman. Kalimat yang baru saja ia dengar selolah memojokan Metari jika dirinya pun berusaha untuk membohongi perasannya. Baruna kembali menampilkan senyum smirk menyadari Metari yang memilih menggeleng cepat, menjawab pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.

“Bar,” sendu Metari. Gadis itu tersenyum getir, menyentuh pelan lengan Baruna namun pria itu memilih untuk menepik cepat.

“Pulangnya hati-hati ya,” sambungnya mengingatkan. Baruna diam, ingatannya terus memutar kejadian di kolam tadi, berusaha untuk melupakan namun semakin dilupakan ingatan itu terus terngiang tanpa bisa ia tahan.

Happy Sunset Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang