Extra Part: Tidak Sekarang Tapi Nanti

38 6 4
                                    

Bukan sekarang tapi nanti, ketika aku bisa  menjadi tameng yang tidak akan menambah rasa sakitmu.

***

Hari dimana Baruna memilih untuk pergi, meninggalkan semua kenangan yang selalu berhasil membuat hati Metari berdesir setiap kali gadis itu mengingatnya.

Cara Baruna yang memilih pergi begitu saja selalu berhasil meninggalkan luka di dalam ulu hati gadis itu. Jemari lentik Metari tergerak pelan mengapus buliran bening yang kembali jatuh membasahi pipinya. 

Gadis itu telah pergi menumpangi bis, menyandarkan kepala pada kaca jedela menatap jalanan yang semakin lengang. Sudut bibirnya tersenyum kecut, mengingat betapa bodohnya dia berusaha mencegah orang yang ingin pergi dari hidupnya.

Ditatapnya dalam lembaran kertas yang sempat Baruna berikan. Hati Metari berdesir, buliran bening yang jatuh berhasil membuat tulisan itu membuyar, kembali gadis itu melipat lembaran kertas memilih menyimpan dalam slending bag yang ia kenakan.   

Aku tidak pernah memilikinya, namun nyatanya aku selalu merasa kehilangan.

***

Metari melangkah pelan memasuki kamar, menarik kursi menatap dalam foto yang terpajang di atas meja. Ia betah duduk lama, menatap foto dalam  frem putih dan juga foto polaroid yang tergantung begitu apik. Hatinya bertambah sesak menatap semua foto yang tertata rapi.

Perlahan jemari lentik gadis itu mengambil foto dalam frem putih. Foto dirinya yang tengah memeluk Abian. Metari masih mengingat dengan jelas, hari dimana Abian pernah mengatakan akan selalu menjaga dirinya.

“Pa, Papa milih pisah sama Mama, aku harap Papa lebih bahagia dan selalu sehat, di mana pun Papa berada,” lirihnya sendu.

Gadis itu langsung mendaratkan kecupan pelan pada foto Abian. Perlahan jemari lentiknya membuka laci meja paling bawah meletakan foto itu.

Kembali Metari menatap dalam foto polaroid yang tergantung begitu apik. Jemarinya langsung saja mencabut semua foto dirinya Yessy dan Flora. Sudut bibir Metari tersenyum tipis.

“Maaf kalau gue enggak bisa jadi temen yang baik buat kalian, ga pa-pa kalau kita enggak deket setidaknya kita masih bisa temenan,” cetusnya dengan getar yang semakin kentara. Metari menarik napas dalam meletakan foto mereka di laci paling bawah.

Kali ini Metari tersenyum getir menatap lekat foto polaroid bersama Baruna. Jemari lentik gadis itu mengambil satu foto mereka, menatap begitu dalam meski ia tahu, pada akhirnya hanya menambah sesak.

Jemari Metari terkepal kuat, buliran bening coba ia tahan meski tetap tidak bisa. Ia menatap dalam foto Baruna, menarik napas dalam berusaha memenuhi rongga paru-paru yang semakin sesak.

Sekeras itu Metari mencoba namun tetap saja gadis itu tidak bisa mencegah buliran bening kembali membasahi pipinya.

“Baruna, elo tau gue cinta banget sama elo, meski gue tau elo nyakitin gue sebegitu sakitnya tapi gue masih berharap elo ada buat gue Bar, tapi kenapa Bar…?” Metari menjada kalimatnya, bibirnya bergetar hebat menahan isak yang semakin kentara.

“Sakit banget ketika elo nyuruh gue buat ngelupain elo Bar,” sambung Metari getir. Untuk kali kesekian gadis itu mengusap buliran bening yang bersarang di pelupuk mata.

“Bar elo akan selalu jadi sunset buat gue,” cetusnya pelan.

Detik berikutnya ia bangkit berdiri melangkah pelan mendekati balkon kamar, gadis itu mematung, menatap dalam langit malam yang semakin pekat. Perlahan sudut bibirnya tersenyum samar.

Happy Sunset Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang