48| Penunjuk Rasa

25 5 11
                                    

Lucu ya, ketika aku tidak ingin merasa sakit, padahal hatiku begitu sakit


*

**

Tidak seperti biasanya pagi ini Baruna datang kesekolah lebih awal, sendirian. Malam kemarin setelah ia pamit pulang pada Metari, gadis itu tidak lagi bisa di hubungi, tidak tahu ponselnya sengaja di non aktifkan atau tidak.

Datang ke rumahnya Metari juga tidak ada. Baruna betah menyusuri lorong koridor yang begitu lengang. Balutan jaket jins hijau toska masih melekat pada tubuhnya. Langkahnya semakin lebar menuju kelas Metari. Baruna menatap hampa ruangan kelas yang bahkan tidak ada siapa pun disana hanya deretan bangku kosong tertata begitu apik.

"Elo kemana sih Ta?" gumamnya pelan. Di raihnya benda pipih yang terselip dalam saku celana, jemari tebal Baruna menari begitu cepat mengirim pesan singkat pada Metari.

Sekarang pun masih check list satu terakhir Metari online di WhatsApp tepat di pukul sepuluh malam kemarin. Baruna membuang napas panjang, melangkah mendekati bangku Metari. Bangku itu tampak bersih. Namun kali ini mata elang Baruna melihat satu cat cair yang tertinggal. Diraihnya cat cair berwarna jingga itu, masih baru. Segelnya bahkan belum terbuka, terdapat tulisan -Untuk Metari.

Baruna menutkan alis, bingung. Siapa yang memberi itu?

Pertanyaan sederhana yang ingin ia tahu jawabnnya. Sudut bibir Baruna tersenyum samar, kembali meletakan cat cair itu pada laci Metari. Jemari tebal Baruna tergerak pelan berusaha mencari tahu apa saja isi laci Metari. Tanpa di sengaja pria itu menemukan sticky note berwarna kuning menyala.

-Semuanya pergi di saat aku tidak siap. Lantas untuk apa hadir jika harus pergi, itu menyakitkan dan hanya membunuh perasaanku secara perlahan-

Baruna mengerjap, sejak kapan Metari menulis kalimat seperti itu. Ia membungkuk melihat kedalam laci Metari. Sedikit terkejut melihat banyaknya sticky note yang tertempel. Semua Baruna keluarkan, tidak peduli bangku Metari yang terlihat berserakan dengan sticky note itu.

Bertanya pada bisu, apa seperti ini caranya Metari menyembunyikan lukanya?

Jemari tebal Baruna membaca satu persatu sticky note itu. Rentetan kalimat yang tertulis begitu apik seolah menjadi penunjuk rasa yang selama ini Metari sembunyikan.

-Gue suka sama elo Bar, tapi sayang elo-nya enggak ;(-

Kalimat yang tersurat lengkap dengan gambar abstrak yang terlukis. Jemari Baruna teralih pada note yang lain.

-Gak boleh sedih, harus senyum, biar orang-orang tau gue cewek yang paling bahagia. Metari cewek yang paling bahagia-

Kalimat yang tertulis terkesan sangat maksa. Baruna masih berusaha tenang.

-Senyum adalah topeng terbaik untuk memanipulasi keadaan-

Baruna membuang napas kasar, memijat pangkal hidungnya, selama ini Metari terlihat baik-baik saja. Sama sekali tidak terlihat murung atau semacamnya. Jangankan berpikir Metari menyimpan luka sedalam ini, membayangkan saja Baruna tidak pernah, yang ia tahu Metari hanya terobsesi dengan dirinya.

-Mereka yang terlalu asik dengan pertengkarannya atau aku yang terlalu pandai menyembunyikan lukaku-

Tinta dalam tulisan itu membuyar, menebak Metari menangis ketika menulis kalimat itu.

-Lucu ya, ketika gue tidak ingin merasa sakit, padahal hati gue begitu sakit-

When i'm think suicide it's better:"

Happy Sunset Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang