-Aku yang terlalu percaya diri atau kamu yang sengaja membuatku merasa berharap-
***
Suara pertengkaran di dalam sana membuat Metari hilang akal. Wajah gadis itu semakin pucat pasi, bibirnya bergetar, perasaan gelisah semakin membuat dirinya merasa takut.
Takut jika Baruna berpikir yang bukan-bukan.
"Ta-"
"Bar, gue masuk dulu ya mau ikut ngobrol sama ortu gue, udah lama banget gue gak ngobrol sama mereka, kayanya mereka sengaja pulang cepet, gue- gue - gue masuk dulu ya. Da Bar, makasih Bar," ucapan Metari semakin tidak jelas, suaranya semakin terdengar gemetar Baruna sadar itu, namun ia tidak menjawab, gadis itu memilih memasuki rumah tak berniat menunggu balasan Baruna.
"Apa Angkasa tau tentang ini? Metari sama sekali gak pernah keliatan sesedih itu," gumam Baruna, ia melangkah mendekati pagar itu, sudut matanya mengintip lewat celah kecil pada pagar. Meski sayup-sayup ia bisa mendengar pertengkaran mereka.
"Apa selama ini Metari bersikap seperti itu cuma mau nutupin rasa sedihnya, di rumah sama sekolah dia beda banget," pria itu kembali bergumam.
Baruna menyandarkan tubuh pada sandaran pagar, menengadah menatap langit pekat tanpa hiasan bintang, pria itu memijat pangkal hidung, tidak mau berbohong pada dirinya sendiri-Ia sangat mengkhawatirkan Metari.
Baruna membuang napas berat, melangkah menaiki motor. Jemari tebal Baruna sudah menggerakkan kunci membuat mesin motor itu menyala, meski begitu Baruna masih betah menatap dalam pagar tinggi itu. Engga memilih pergi namun dirinya harus pergi.
Kenapa juga gue harus khawatir sama elo Metari?
***
Metari mengurung diri di kamar, suara pertengkaran itu masih saja terdengar, telinganya sampai bosan, melerai pun tidak bisa. Gadis itu betah duduk di balkon kamar, matanya menatap nanar rumah-rumah yang ada di depan sana. Sudut bibirnya tersenyum getir, dadanya semakin lama terasa sesak.
"Semoga di kehidupan yang akan datang hidupmu lebih menyakitkan!"
"Diam! Aku suah tidak kuat dengan sikap kamu Clara,"
Metari yang hanya mendengar mengusap pelan buliran bening yang jatuh tanpa bisa ia tahan. Dadanya semakin terasa sesak, gadis itu menarik napas panjang, berusaha menarik pasokan oksigen memenuhi rongga paru-paru yang terasa sesak.
Guk....
Guk...Tangisnya seketika pecah, ia langsung menunduk mengendong anjing kecil kesayanganya.
"Oppa" lirihnya pelan. Suaranya terdengar parau. Punggung Metari sampai bergetar menahan isak.
"Makasih...udah selalu....mau nemenin aku Oppa," ucapnya di sela isak yang tertahan. Gadis itu betah sesenggukan, air matanya terus saja mengalir tanpa bisa ia cegah.
Oppa meloncat dari pangkuan Metari, gadis itu menelan ludah kasar mengusap kasar air mata dan juga lendir yang keluar dari hidung lancipnya.
Oppa berdiri di meja menggigit kotak tisu lalu ia berikan pada Metari, terlalu sering Metari ajari, Oppa jadi semakin pintar. Anjing itu mengitari Metari sesekali menjilati kaki Metari. Tingkah Oppa berhasil membuat gadis itu tertawa pelan. Jemar Metari tergerak menarik selembar tisu untuk mengusap air matanya.
"Udah aku gak sedih lagi, makasih Oppa," katanya parau. Gadis itu kembali menarik Oppa memijat pelan leher ajing itu.
***
"Bar serius gue, elo kenapa sampai digebukin kaya gini?" desak Angkasa kesal. Pria itu sudah membantu Baruna membersihkan luka lebam di wajah. Sedari tadi Angkasa bertanya namun tak sekalipun Baruna dengarkan, ada saja yang pria itu bicarakan untuk mengalihkan fokus Angkasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Sunset
Teen Fiction#Follow dulu ya Luplup💜 Update tiap hari selasa, kamis dan sabtu. Ps: kalau gak update hari itu berarti update di hari besoknya:)# *** -Kisah cinta ini seperti mactha late, punya rasa pahit yang khas- Metari bukan gadis yang pantang menyerah, sela...