25| Baruna Baper

35 10 22
                                    

Banyak hal yang ingin aku sampaikan namun tersekat dalam kelu. Beri sedikit ruang agar aku bisa mengatakan, jika aku tidak baik-baik saja.

***

PAGI ini, hampir tiga puluh menit Baruna duduk di atas jok motornya. Jaket jins hijau toska masih betah melekat sempurna membungkus tubuh kekar itu. Terlihat sudut bibir tersenyum kecut, mata elangnya betah menatap lurus pintu gerbang yang masih tertutup rapat.

Menunggu itu membosankan.

"Oke gue masih sabar," resah Baruna hampir putus asa. Tidak ada tanda-tanda pintu gerbang akan di buka. Di tatapnya lama arlogi kulit yang melingkar di pergelangan kiri.

Masih ada waktu lima belas menit untuk pergi kesekolah.

Cukup kesal, ia memberanikan diri mengintip lewat celah kecil di pintu gerbang itu. seperti sebelumnya rumah besar itu terlihat sangat sepi, namun kali ini ia berhasil melihat seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu halaman. Jemari tebalnya menekan tombol bell, berhasil menimbulkan suara nyaring. Buru-buru wanita paruh baya itu mendekat ke arah pintu. Dia itu Bi Ratna.

"Cari siapa ya Den?" tanya wanita itu sedikit bingung. Dari pakaian yang dikenakan oleh wanita itu, Baruna bisa menebak jika wanita itu assistant rumah tangga. Baruna mengusap pelan tengkuknya. Canggung.

"Metari ada Bi?"

"Aden temannya Non?" Bi Ratna balik bertanya Baruna berdecak, kenapa rasanya bertemu dengan Metari susah sekali.

"Bukan,"

"Terus?"

Baruna diam sesaat, lalu dengan santainya menjawab, "calon pacarnya."

"Eh loh," Bi Ratnya tersenyum kaku, "tapi Non Metarinya udah berangkat,"

"APA?!" pekik Baruna cukup heran. Ia bahkan hampir menunggu tiga puluh menit dan ternyata Metari sudah berangkat sekolah. Menyebalkan. Jemari Baruna terkepal kuat, jangan sampai ia meluapkan kekesalannnya.

"Dia berangkat jam berapa Bi, saya nunggu dia hampir tiga puluh menit loh,"desak Baruna, raut kesalnya sudah tidak bisa ia sembunyikan.

"Non Metari udah berangkat dari jam enam Den, si Aden gak nanya dulu sama Non kalau mau jemput?" Baruna hanya diam, tersenyum kecut mendengarnya. Ia menarik napas panjang membuang perlahan. Bersumpah dalam hati jika dirinya tidak mau lagi menjemput Metari.

"Aden tunggu bentar ya gak lama kok lima menit aja," sambungnya langsung berlari meninggalkan Baruna.

Pria itu berdecak. Terbuang sia-sia sudah waktu tiga puluh menit yang bisa ia sempatkan untuk tidur.

"Ngapain juga berangkat jam enam, mau buka gerbang itu orang, buang-buang waktu gue aja," gerutu Baruna kesal. Jemarinya terkepal memukul kuat gerbang namun dirinya sendiri yang merasa kesakitan.

"Aden," panggilan pelan itu membuat Baruna menoleh cepat. Alisnya terangkat saat wanita paruh baya itu memberikan dirinya paper bag berwarna cokelat lumpur.

"Tolong kasih ke Non Metarinya ya Den, soalnya tadi Non minta di bawain ini, pak Danangnya masih di pasar beli ayam," jelas Bi Ratna memberikan paper bag itu.

Baruna hanya mengangguk pelan, mengambil paper bag itu. Tanpa pikir panjang ia langsung menyalakan mesin motor, melesat dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli suara klakson terdengar melengking karena ulahnya. Itu menyebalkan, bagi Baruna terlambat dan kena hukuman adalah hal yang sangat ia hindari, cukup sekali dalam hidupnya ia terlambat. Ia memang nakal tapi sangat anti bila sudah datang terlambat.

Happy Sunset Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang