10| Luka

38 10 122
                                    

Tidak masalah jika kau hanya menyukainya, namun aku akan tetap menjadi tameng untuk dirimu.

***

[Metari]
Besok gak usah elo jemput gue, elo bukan sopir gue!

Baruna tersenyum smirk membaca notif yang baru saja ia dapatkan. Gadis itu pikir dirinya siapa, berani sekali menolak keinginannya. Ia yakin Metari hanya sok jual mahal. Selama ini gadis itu bahkan berusaha untuk dekat dengan dirinya.

Tanpa pikir panjang lagi Baruna menarikan jemari di layar pipih itu.

[Baruna]
Gak usah sok jual mahal sama gue!
Gue tekanin ini pertama dan terakhir kali gue nawarin elo buat berangkat bareng, dasar lo ya sok cantik!

Pesannya langsung check list biru. Namun tidak ada tanda-tanda Metari membalas pesannya.

Baruna menatap lekat benda pipih itu, matanya tergerak pelan membaca room chat Metari. Pria itu sampai merubah posisi menjadi duduk bersila. Awalnya ia bersandar pada sandaran ranjang, namun setelah berhasil membaca balasan Metari emosinya berhasil tersulut.

Metari itu diberi hati malah minta jantung.
Meski begitu ia cukup penasaran dengan keadaan Metari, terakhir melihat Metari, gadis itu terlihat sangat terluka. Baruna tersentak, mengerjap beberapa kali, untuk apa dia harus peduli pada Metari.

“Elo tadi ngajak Metari kemana?” pertanyaan itu terdengar mengusik. Sontak saja Baruna menoleh ke ambang pintu mendapati Angkasa sudah bersender di pintu itu. Baruna tidak menjawab, menatap malas ke arah kembarannya.

“Elo udah ngasih dia kado apa?” Angkasa kembali melontarkan pertanyaan berhasil membuat Baruna muak.

“Banyak tanya lo ya, gue gak suka!” ketus Baruna kesal. Faktanya ia memang tidak suka jika Angkasa membicarakan Metari. Angkasa tidak memperdulikan, pria itu langsung masuk melempar rubik yang belum tersusun warnanya. Dengan gerakan cepat Baruna berhasil menangkap rubik itu.

“Bar coba sekali aja elo buka perasaan elo buat dia,” ucapnya datar, namun sorot teduh itu terlihat memohon.

“Males,” balas Baruna asal. Pria itu sudah memulai menyusun rubik. Angkasa yang mendengar berdecak kesal.

“Elo itu harusnya beruntung ada orang yang cinta banget sama elo, jangan sampek elo nyesel,”

“Gue gak akan nyesel,” bantah Baruna cepat.

“Dia itu bukan cinta, tapi obsesi untuk memiliki,” kukuh Baruna pada pendiriannya. Pria itu langsung menyerahkan rubik yang sudah tersusun warnanya.

“Elo suka sama dia?” pertanyaan Baruna terdengar menohok. Angkasa tersenyum hambar, menggeleng pelan, namun mata elang Baruna menatap tidak percaya.

“Gue cuma peduli sama dia,”

“Peduli sama suka itu beda tipis,”

Angkasa yang mendengar mengangguk paham, namun pria itu enggan memperpanjang. Sudut matanya menatap luka memar di sudut bibir Baruna. Rasa bersalah itu berhasil menelusuk dalam hatinya. Ia tersenyum getir menatap dalam ubin lantai.

“Maaf Bar, tadi siang gue mukul lo, gue harusnya gak emosi,” celetuk Angkasa pelan. Baruna yang memilih memainkan benda pipih itu hanya menoleh sekilas, lagi pula ia sudah melupakan kejadian tadi siang.

“Iya harusnya elo gak emosi,” responnya malas.

“Elo maafin gue?”

“Males!”

“Ma!” pekik Angkasa cepat. Baruna yang mendengar memandang tajam.

“Tukang ngadu lo ya,” cebik Baruna kesal. Angkasa hanya tertawa hambar, menggeleng tidap percaya kembarannya ini selalu saja salah sangka dengan dirinya.

Happy Sunset Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang