54| Pergi

13 4 1
                                    

Lebih menyakitkan ketika kamu memilih untuk pergi



***

Pandangan Baruna membuyar, deru napas pria itu terengah, perlahan menjatuhkan benda pipih yang sempat tertempel ditelinga.

[Halo Bar?]

Suara berat itu terus terdengar namun tak kunjung mendapat jawaban.

[Bar, jawab gue,]

Masih tidak ada jawaban. Panggilan terputus begitu saja, dan Baruna tidak kunjung sadarkan diri.

***

"Gue harus nyusul Baruna," cetus Angkasa cepat.

Pria itu tengah mengecek aplikasi zenly berusah mencari tahu keberadaan Baruna. Sedari tadi sesuatu yang mengganjal berhasil ia rasakan, sekali pun tidak berpikir Baruna akan menelpon meminta bantuan pada dirinya.

Ini pertama kali Baruna seperti itu, semakin membuat Angkasa khawatir.

"Kalau gitu gue ikut," celetuk Deffan yang telah menarik jaket kulit yang tergeletak di sofa.

"Gue juga," sela Carel ikut melangkah mendekati mereka. Cepat-cepat pria itu mematikan televisi dan membiarkan stik ps tergeletak begitu saja. Tak lupa menaricepat konci mobil yang tergantung di dekat lemari. Angkasa melangkah lebih dulu, mengecek lokasi Baruna saat ini.

"Baruna ada di club pertemuan skate board."

"Berarti di sekolah," celetuk Deffan membuat Angkasa mengangguk cepat. Pria itu menoleh pada Carel membuat Carel langsung melempar kunci mobil pada Deffan.

Dengan gerakan cepat Deffan langsung mengemudikan mobil dengan kecepatn tinggi, mobil hitam milik Carel melesat begitu cepat meninggalkan halaman rumahnya.

***

Deffan memarkir asal mobil ikut berlari menyusul Angkasa yang lebih dulu berlari menarik tubuh Baruna. Napas Angkasa tercekat, menatap Baruna yang telah terbaring dengan darah yang semakin keluar di susut pelipis pria itu.

Carel mundur pelahan pria yang notabene memiliki phobia terhadap darah, memilih menjauh dari mereka. Carel berusaha menstabilkan detak jantungnya yang semakin memburu hebat, sebisa mungkin menenangkan dirinya sendiri.

Kaki Angkasa melepas, deru napasnya terdengar memburu, buliran bening sudah mulai keluar membendung pelupuk mata pria itu. Angkasa menggigit bibir bawah, menahan sesak melihat kondisi Baruna.

Pria itu langusng berlari menarik Baruna adalam pelukannya. Angkasa sesenggukan membersihkan wajah Baruna dengan jemarinya sendiri. Semakin lama jemari Angkasa bergetar hebat mengusap setiap darah kental yang tak henti keluar.

"Bar elo kenapa?" erang Angkasa sudah tidak kuasa menahan emosi yang semakin tidak stabil. Diguncangnya hebat tubuh Baruna namun tak kunjung menyadarkan pria itu.

"Maafin gue Bar, maaf in gue Bar," lirihnya disela isak yang tersisa.

"Sa tenangin diri lo," pesan Deffan berusaha terlihat tegar. "Mending kita bawa Baruna ke rumah sakit," sambungnya membuat Angkasa mengangguk.

Mereka membawa Baruna kedalam mobil. Angkasa memangku kepala Baruna, menyeka darah yang semakin keluar hebat. Sementara Carel masih berusaha menyembunyikan wajah agar tidak sampai melihat keadaan Baruna. Sebisa mungkin pria itu menstabilkan detak jantungnya. Deffan berfokus pada jalanan. Melaju begitu gesit melewati mobil disisi kanan dan kirinya.

Happy Sunset Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang