3. Guilty

87 8 0
                                    

"Kamu mau ketemu Herin, 'kan?"

Mark mendengus sekeras-kerasnya. Dia ingin sekali menghindar dari pembicaraan busuk dengan ayahnya ini. Namun, dia tidak bisa membantah dari si iblis kecil ini.

Ah benar, ini ayahnya, tak seharusnya Mark begitu.

Mark mengangguk, "Yeah. Tapi bukan berarti aku nerima ayah sama cewek itu."

"Lagian aku benci pesawat, aku gak suka ketinggian!"

Setelah mengunyah makanannya, dia bersuara. "Kamu 'kan tau sendiri ayah itu pilot. Ayah juga dulu takut ketinggian, tapi kalo kamu percaya diri kamu bakal kalah sama rasa takut itu."

Mark merubah posisi duduknya, "Tapi yah, ini terlalu cepet. Aku gak mau ninggalin ibu."

"Dia yang ninggalin kita duluan, dia yang gak setia, Mark. Sampai kapan kamu belain wanita itu, hah?!" Pria bongsor yang tadinya terduduk itu sekarang berdiri.

"Kamu inget kata ayah? AYAH GAK PERNAH MAAFIN WANITA ITU DAN AYAH GAK AKAN SEGAN MUKUL KAMU KALO KAMU NGOMONG DIA LAGI." Ayahnya berteriak.

"Seenggaknya kita yang setia? Kenapa bisa ayah semudah itu lupain ibu? Ayah lebih lama sama ibu dibanding aku yang cuma lima tahun—"

"Mark. Apa peringatan ayah kurang cukup buat kamu?" Ayahnya menyela.

"—ibu gak pergi, yah. Malah kita yang pergi dari dia. Ibu gak pernah salah, itu cuma cuci otak ayah aja. Bastard, aku capek sama ayah."

Lagi dan lagi ruang makan yang biasa sepi itu menjadi saksi bisu persilatan mulut sang ayah dan anak. Mark tak bisa makan makanannya, begitupun ayahnya yang pagi sudah tersulut emosinya gara-gara sang anak.

"MARK! JANGAN HARAP DATENG SEKOLAH PAGI-PAGI!" Teriakan menggelegar yang datang dari mulut ayahnya itu membuat Mark menghentikan langkahnya kemudian mendecak sebal. "IKUT AYAH KE KAMAR, SEKARANG!"

Mark tak mau mendengarkannya dia hanya melengos begitu saja menuju kamar mandi di depan sana. Entahlah, ayahnya malah berfikir tempat itu memang bagus untuk merenung diri.

Pria bernama Jayden itu mendengus kasar kemudian melangkahkan kakinya sebesar mungkin menyusul anaknya yang sebentar lagi kakinya akan menyentuh lantai kamar mandi.

Begitu tepat dibelakang Mark, Jayden mendorong punggung anaknya itu hingga terjatuh ke lantai, dia juga ikut masuk. Jayden mengunci pintu kamar mandi itu agar Mark tak lari darinya lagi. Mark sangat terkejut dengan apa yang dilakukan ayahnya itu, apalagi saat ayahnya membuka sabuk yang menempel di celananya sambil menatap Mark tajam.

CTTAK!

"Ahkkk!!"

"Kamu emang gak ada bedanya sama wanita itu, sama-sama harus di hukum!"

"A-ayah... m-maaf!"

***


"Lo disini ternyata."

Aku memutar bola mataku dengan malas ketika seseorang baru saja datang di hadapanku dengan nampan berisikan makan siangnya. Lee Haechan. Dia sendirian hanya ingin menemui ku yang sedang makan di kursi paling ujung yang nampak gelap.

Tak seperti tempat siswa famous disana yang mendapatkan cahaya matahari karena dekat dengan jendela.

"Benci banget, ada penguntit." Cibirku tanpa melihat ke laki-laki itu.

Dia menghela napas, "Nama gue Lee Haechan, bukan penguntit." Ujarnya.

Aku melirik kearahnya barang sedetik lalu berkata lagi, "Chan, please stop. Gue risih. Kalo lo terus kek gini, gue beneran bakal pindah keluar negeri."

It's Okay! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang