36

780 38 13
                                    


~♡~♡~♡~♡~

"Jadi Pamannya Mateen yang membuat semua rencana ini?!" Pekik Mama saat Alona sudah menceritakan segalanya pada kedua orangtuanya itu

"Iya, Mah. Mau nggak mau aku harus menuruti itu. Aku nggak mau kehilangan Mama, Papa dan juga Abram yang nggak ada sangkut-pautnya sama hubunganku dan Mateen"

"Ya ampun, kenapa tega banget mereka?" Kata Mama sedih sambil mengobati luka-luka di wajah Alona.

"Auuhhh" Alona meringis kesakitan ketika obat itu menempel di luka lebamnya.

Alona telah tiba di rumahnya sejak beberapa puluh menit yang lalu. Hal ini sontak membuat kedua orangtua Alona terkejut karena mendapati anak gadisnya yang tiba-tiba pulang tanpa memberi kabar ditambah dengan kondisi yang kacau dan terluka.

"Ini benar-benar sudah kelewatan, Alona! Papa nggak bisa diam saja! Papa nggak ikhlas melihat anak Papa di sakiti seperti ini!" Marah Papa Alona yang sejak tadi hanya berjalan mondar-mandir

"Sudahlah, Pah. Nggak ada gunanya kita melawan. Mereka itu orang-orang Kerajaan, jika kita melawan yang ada malah kita semua celaka. Sudah, biar aja aku yang menanggung derita ini" Ucap Alona mencoba menahan isak tangisnya

"Mah, udah cukup" Alona menahan tangan sang Mama yang masih terus mengobati luka-luka di wajahnya, "Aku mau istirahat dulu ya Mah, Pah" Pamitnya yang menarik koper dan menenteng tasnya menuju ke kamar yang sudah berbulan-bulan ia tinggalkan.

Mama, Papa dan Abram menatap tubuh Alona yang perlahan pergi dari penglihatan mereka. Kini Mama ikut menangis di pelukan Papa karena tidak tega melihat anak gadisnya yang benar-benar terluka saat ini. Mereka kira hubungan Mateen dan Alona akan berakhir bahagia seperti film-film Kerajaan yang sering mereka tonton.

-------

Beberapa hari kemudian...

Kini Mateen pun sudah berada di villanya. Beberapa hari ini hanya ia habiskan untuk memulihkan kondisinya ditemani oleh dokter dan perawat pribadinya yang tepat pada hari ini Mateen minta untuk mereka selesai merawatnya karena Mateen merasa sudah cukup pulih.

Siang ini terlihat Mateen yang berbaring santai di sofa balkon sambil menatap langit dan awan yang cerah. Luka-lukanya memang sudah cukup pulih, namun perasaan hatinya sendiri ia yakin tidak akan pernah bisa sembuh. Rasa benci itu selalu terlihat di mata Mateen. Ia sekarang benar-benar merasa benci dengan kehidupan yang membuatnya merasa dibohongi, terluka dan juga malu.

Langkahnya Mateen arahkan menuju ruang makan. Dengan jalan sedikit terpincang-pincang akhirnya Mateen berhasil menjatuhkan tubuhnya di kursi. Dirinya mulai meraih sebotol wine yang terdapat di tengah meja itu dan mulai menuangkannya ke gelas.

Semenjak mengenal Alona, sekalipun Mateen tak pernah menyentuh dan meminum minuman alkohol. Namun hari ini berbeda, dadanya terasa sesak, pikirannya juga berat karena terbebani oleh Alona. Jadi Mateen putuskan untuk kembali meminum minuman alkohol itu.

Ia mulai meneguk isi gelas itu bersamaan dengan matanya yang terus menatap ke arah pintu kamar Alona. Rasa cintanya yang kini sudah berubah menjadi benci membuat amarah Mateen seketika muncul karena mengingat setiap kenangan bersama Alona dari pintu kamar gadis itu.

"ROYYY!!!" Panggil Mateen dengan nada suara keras

Dari dalam kamarnya, Roy langsung berlari tergesa-gesa menuju dimana asal suara Tuannya memanggil.

"Ya, Pangeran?"

"Kenapa kamar wanita hina itu terbuka? Tutup pintu kamar itu! Saya begitu muak melihatnya!" Perintah Mateen sambil menunjuk ke arah pintu kamar Alona

OUR INCOMPLETE STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang