Empat Puluh Lima

1.2K 134 11
                                    

Dengan langkah berat Keenan menyusuri lorong sekolah. Bukan karena tubuhnya yang sakit, tapi karena hari ini ia akan menyelesaikan segala kegiatan di sekolah. Bersembunyi di balik topi dan masker, Keenan hanya membalas sapaan dengan menunduk sejenak. Namun rasanya tidak berlaku untuk Rere.

"Pagi Keenan Adiputra" sapa Rere dengan langsung menggandeng tangan Keenan.

Keenan melepas topinya dan tampak tersenyum dibalik masker. Tidak peduli banyak mata memandang mereka.

"Tadinya mau ajak Dirga ke rumah kamu" kata Rere.

"Emang Dirga lagi di rumah aku sekarang, gak sekolah dia" jelas Keenan.

"Kenapa?"

"Sakit, demam gitu. Khawatir ya?"

"Eh... nggak gitu. Kamu sendiri kenapa sekolah? Ujiannya udah selesai kan? Mending di rumah istirahat"

Langkah Keenan terhenti. Ia lalu menatap Rere lekat. Tersenyum kecil kemudian, Keenan mengusap puncak kepala Rere.

"Aku hari ini terakhir sekolah. Ini mau ngasih surat pengunduran diri dari tim basket. Sama sekalian ambil buku di loker"

Raut wajah Rere berubah sedih. Matanya berkaca-kaca meski tak sampai menetes. Separah itukah Keenan hingga harus meninggalkan sekolah dan istirahat total.

Rere menunduk kemudian merasakan tubuhnya hangat direngkuh oleh Keenan. Tak peduli puluhan pasang mata memandang. Keenan memeluk Rere erat sembari mengusap rambut panjang Rere yang terurai indah.

"Jangan sedih gitu ah. Kalo mau ketemu kan tinggal ke rumah. Atau aku yang main ke rumah kamu juga bisa" ujar Keenan menenangkan.

"Cepet sembuh, Ken" hanya itu yang terucap dari bibir Rere.

***

Dirga belum beranjak dari kamar, lebih tepatnya kamar Keenan. Ia diperlakukan bak pangeran selagi beristirahat. Uti, Inar bahkan Nara tak henti-hentinya bertanya apakah dia masih merasa pusing, lapar, haus, atau apapun itu.

Tapi dasar Dirga yang pendiam hanya menjawab dengan gelengan. Keyvan sudah menyarankan untuk ke rumah sakit pun di tolak oleh Dirga. Ia tidak ingin meninggalkan kamar saudara sepupunya yang terasa begitu nyaman.

"Dirga, kok ngelamun sih?" Tegur Inar lalu duduk di samping Dirga yang berbaring. "Kenapa, eum? Mama dari tadi di pintu liat kamu ngelamun terus"

"Nggak ada apa-apa kok, ma" jawab Dirga.

"Bohong. Kamu mikirin apa sampai sakit kayak gini?"

"Aku cuma mimpi buruk... iya mimpi buruk. Aku lupa mimpi apa. Tapi rasa takutnya masih kerasa sampai sekarang"

Inar memeluk Dirga dari samping, membuat anak itu merasa begitu nyaman dan ikut melingkarkan tangan di pinggang ramping ibu sambungnya.

"Gak perlu takut. Itu hanya mimpi, bunga tidur. Jangan terlalu dipikirin sampai sakit sendiri kayak gini" kata Inar menenangkan. Dirga hanya mengangguk dalam dekapannya.

Di sisi lain Alfa, Reza, dan Rere membantu Keenan berkemas. Mereka memasukkan buku dan alat lain milik Keenan ke dalam kardus. Rere juga membaca satu persatu sticky note yang ditinggalkan siswa lain di loker Keenan. Ada puluhan sticky note warna warna yang berisi ucapan perpisahan dan doa berharap kesembuhan Keenan serta akan bertemu di kemudian hari.

Rere tersenyum mengumpulkan kertas warna warni itu yang nanti akan ia berikan pada Keenan tanpa terkecuali. Alfa dan Reza yang tampak tak semangat mengingat hari terakhir Keenan di sekolah. Apalagi keputusan Keenan mengundurkan diri dari tim basket.

"Salah gak sih kalo gue gak rela Keenan berhenti sekolah?" Gerutu Alfa entah kepada siapa.

Rere terdiam mendengar gerutuan Alfa. Senyumnya ikut luntur mengingat kembali kenyataan tentang lelaki yang mengisi ruang kosong di hatinya.

"Gue ngerasain apa yang lo rasain, Al. Dan gue yakin banyak yang punya pikiran kayak gitu. Tapi apa justru gak egois kalo kita bantah keputusan Keenan dan keluarganya" balas Reza.

"Iya, gue paham. Kita juga siapa berhak bantah keputusan keluarga Adiputra. Bahkan Dirga gak punya kuasa untuk itu"

"Doain aja yang terbaik buat Ken" ucap Rere.

"Iya, Re. Thanks ya, lo jadi salah satu alasan Keenan bahagia" ujar Reza membuat mata Rere berkaca-kaca.

"Hayo lo Za, nangis Rere"

"Jangan nangis dong, Re. Aduh maaf ya, digorok Keenan nih gue"

Rere tertawa kecil sembari menghapus air matanya yang terlanjur menetes. Mereka bertiga menunggu Keenan kembali karena ia berpamitan ke kantor aula olahraga menemui pelatih basket sekolah.

Sedangkan Keenan sebenarnya sudah selesai dengan urusan pengunduran diri. Ia duduk di lorong pintu keluar aula. Sangat sepi mengingat tidak ada kegiatan apapun di aula olahraga. Siswa lain memilih lapangan luar untuk bermain. Belum lagi pelatihnya tadi memang buru-buru untuk ikut rapat turnamen di sekolah lain.

"Sayang saya harus lepas kamu. Tapi ini usaha kamu dan keluarga. Tolong kembali sehat dan bisa bertemu di lapangan lagi setelah lulus"

Ucapan itu membuat Keenan merasa lega. Banyak yang mendoakan dia. Senyum yang tadi menghias kini berubah menjadi rintihan. Keenan menunduk meremas dadanya yang begitu sakit. Ia melepas masker yang sejak tadi bertengger rapi di hidung hingga dagunya, berharap bisa bernafas dengan lancar.

"Uhuk"

Keenan mulai terbatuk. Seperti ada yang mendorong keluar dari dalam perutnya. Hingga dadanya pun ikut merasa panas, Keenan memaksa tubuhnya untuk beranjak ke toilet yang tak jauh dari tempatnya duduk.

Tanpa Keenan tau, Vano tidak sengaja melihat Keenan masuk ke toilet dengan langkah tertatih. Vano spontan meletakkan keranjang bola yang ia bawa lalu menyusul Keenan. Begitu ia masuk ke toilet tak ada siapapun, pintu bilik pun terbuka kecuali satu pintu.

Vano mendekat mendengar suara muntahan dan batuk yang menyakitkan. Juga deru nafas yang tidak beraturan. Ia yakin itu adalah Keenan.

Duk duk duk

"Gue tau lo di dalem. Buka pintunya!" Seru Vano sambil mengetuk pintu secara brutal. "Keenan gue tau lo sekarat di dalem!"

Klek

Pintu terbuka. Yang pertama Vano lihat adalah Keenan yang sudah duduk di lantai. Tangannya yang tadi membuka pintu terkulai lemas dan bersimba cairan merah. Vano tau cairan merah itu berasal dari mana. Sekitar mulut hingga leher Keenan sudah banyak bercak darah hingga membuat seragam Keenan kotor oleh noda merah itu di bagian depan.

"Astaga, Ken!"

"Va...no"

Vano sontak ikut duduk di samping Keenan untuk menahan tubuh anak itu yang bisa limbung kapan saja. Vano merogoh sakunya, menekan beberapa tombol di ponselnya.

"Halo?"

"Ke toilet GOR sekarang. Cepet!"

"Maksud lo apa?"

"Gue sama Keenan disini. Dia sakit, banyak banget darah yang keluar, cepet kesini tolongin dia!"

Tut

Vano mematikan sambungan telfonnya secara sepihak. Ia mengeluarkan sapu tangan dan menutup mulut Keenan karena anak itu terus terbatuk dengan darah yang keluar.

"Ss..sakit" rintih Keenan membuat Vano semakin panik.

"Gue gak tau sakit mana yang lo rasain. Tolong sabar, jangan pingsan. Gue udah telfon kak Andre. Dia kesini habis ini"

Brak

Seperti dugaan Vano, Andre datang dengan raut paniknya. Andre begitu terkejut melihat keadaan Keenan saat ini yang nampak kesulitan bernafas dan terus terbatuk.

"Lo apain dia?!"

*
*
*

Tbc

Bahagia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang