Lima

3.4K 255 26
                                    

Rere tersenyum sendiri melihat pemandangan empat orang yang sedang bermain basket. Tapi tetap saja perhatiannya tertuju pada satu orang disana. Dirga benar-benar menyita perhatian Rere.

"liatin Dirga ya?"

Rere terlonjat mendengar seseorang yang tiba-tiba duduk dan mengatakan hal itu tepat di telinganya.

"Keen? apaan sih" protes Rere.

"ya gak apa apa, Re. Lo ngapain di sini sendirian? liat mereka main sambil senyum-senyum. Liatin Dirga kan?"

Rere salah tingkah dibuatnya. Entah Keenan yang memang tau jika dia memperhatikan Dirga atau hanya sekadar menebak.

"sok tau!"

"ya dilogika aja. Gak mungkin lo liatin si kunyuk Alfa tuh, apalagi Reza. Nah pasti lo liatin Rian atau Dirga, tapi kayaknya sih liatin Dirga"

Rere memilih diam. Karena jika direspon akan bertambah panjang nantinya.

"lo kenapa nggak main disana?" tanya Rere.

"lagi pusing gue, gak mau pingsan" jawab Keenan santai.

"kenapa?" tanya Rere, ia juga tidak tau kenapa menanyakan hal itu.

"udah biasa. Gue yakin lo juga pasti udah denger tentang gue"

deg

Rere menatap Keenan tak percaya. Bagaimana bisa orang di depannya begitu santai membicarakan kekurangannya. Atau bahkan Keenan menganggap penyakit mematikan yang bersarang pada tubuhnya merupakan kelebihan yang Tuhan berikan.

"Keen, gue mau nanya. Kalo lo gak mau jawab juga gak papa"

"tanya aja"

"sejak kapan?"

"sejak umur sembilan tahun. Tapi sempet sembuh sih pas umur tiga belas. Gak tau deh kok muncul lagi, dan udah dua tahun ini sih"

"Keen, gue nanya lagi boleh?"

"tanya aja"

"kenapa lo mudah banget sih ngomongin hal sensitif kayak gini ke orang lain? apalagi lo baru kenal sama gue"

"buat apa juga gue nutupin. Malu? atau nggak nerima kenyataan? gue bukan tipe orang yang kayak gitu, Re. Gue mau jadi apa adanya. Gue mau orang lain nerima gue dengan tau semuanya. Iya sih awalnya gue marah, gak nerima kenyataan, nyalahin Tuhan atas takdir gue. Tapi gue pikir lagi juga buat apa? gue pengen jalanin semampu gue"

Rere menatap Keenan sendu. Ia tak tau harus mengatakan apa hingga perhatiannya tersita oleh hidung Keenan yang berdarah, atau lebih tepatnya mimisan.

"aduh kenapa lagi sih" gerutu Keenan sambil membersihkan hidungnya dengan tangannya.

"pake ini Keen" kata Rere sambil menyodorkan beberapa lembar tisu.

"makasih Re"

Keenan masih sibuk membersihkan darah dari hidungnya yang terus menetes hingga membuat Keenan tampak lebih pucat dari sebelumnya. Rere disana hanya meringis, bingung harus melakukan apa.

"gue panggilin yang lain aja ya?"

"gak usah, biarin mereka main. Jangan di ganggu" Suara Keenan terdengar parau.

"Keen sumpah gue takut lo kenapa napa"

"udah biasa, Re"

"lo pucet gitu, lemes juga ya kan?"

"iya lah lemes, darahnya keluar terus"

Rere mendengus mendengar nada bicara Keenan yang seakan bercanda. Bisa-bisanya anak itu bersikap biasa saja.

Bahagia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang