"Sore tante"
"sore"
Nara tersenyum ramah melihat tiga gadis cantik berdiri di depan ruang rawat anaknya. Keenan merasa penasaran siapa yang datang.
"ayo masuk" ajak Nara.
Keenan terperangah melihat Silfia masuk lalu disusul Rere di belakangnya. Gila saja mereka berdua datang bersama menjenguk Keenan. Satu gadis yang Keenan suka, satu gadis yang menyukai Keenan.
Tak berlangsung lama, Keenan lega melihat Nana juga datang. Akhirnya Keenan bisa tersenyum menyambut tiga gadis itu.
"halo Ken. Kelas gaada lo gaada yang berisik" kata Nana.
"yaelah, Na. Kalo gue masuk ntar Alfa sama Reza berisik lo marahin" balas Keenan.
"ya gimana ya... kayak ada yang kurang gitu. Oh iya, ini gue bawain novel baru. Biasanya lo paling cepet kalo ada yang terbit"
"thanks, Na"
Keenan senang menerima novel baru dari Nana. Tapi ia justru merasa canggung dengan dua gadis yang lain. Rere dan Silfia belum berkata apa-apa sejak tadi. Keduanya masih berdiri sedangkan Nana sudah duduk di pinggiran brangkar Keenan.
"gak capek?" tanya Keenan kepada Rere dan Silfia. "duduk gih, tuh kan ada dua kursi"
Rere dan Silfia tersadar. Keduanya langsung duduk lalu tersenyum canggung.
"lo, udah enakan?" tanya Silfia.
"belum sepenuhnya. Masih ngrasain efek kemo. Padahal belum lima puluh persen obat masuk" jelas Keenan sambil meruntuki dirinya.
"jadi, lo gak lanjut kemo?" Keenan menggeleng.
"nyatanya tubuh gue gak kuat. Gimana dong?"
Keenan menyadari perubahan raut wajah ketiga temannya itu. Tapi yang paling menonjol adalah Silfia dan Rere. Apalagi Rere sejak tadi belum bicara apapun padanya.
Keenan menghargai keberadaan Silfia. Meski pada kenyataannya Silfia sudah tau Keenan menyukai Rere tetap saja Keenan tidak ingin menyakiti Silfia lebih dalam lagi. Dalam benaknya ia juga lega karena sudah bisa meluapkan isi hatinya pada Silfia yang selama ini mengejar cintanya.
"cepet sembuh ya Ken, seenggaknya liat lo di sekolah gue udah seneng"
Kali ini Rere mendongak mendengar Silfia mengatakan itu pada Keenan. Entah kenapa terbesit rasa yang aneh dalam hatinya. Apakah Rere cemburu atau tidak suka, Rere juga tidak tau.
Rere melihat Keenan tersenyum menanggapi ucapan Silfia. Hati Rere semakin bergemuruh. Mendadak ia ingin sekali menangis saat ini juga. Sedangkan Keenan tersenyum karena ia merasakan ketulusan dari ucapan Silfia. Tapi ia juga sadar perubahan raut wajah Rere.
"kita gak bisa lama-lama Keen, mau les" pamit Nana.
"bentar banget" kata Keenan.
"ya gimana dong? emang gue sama Silfia mau les cuma rencana mampir jenguk lo sekalian"
"loh udah mau pulang?" tanya Nara yang baru saja masuk melihat Silfia dan Nana sudah menenteng tas punggung kecil mereka.
"iya tan, aku sama Nana mau les" jawab Silfia.
"Renata juga?" tanya Nara.
"eung... nggak tante" akhirnya Keenan mendengar suara Rere.
"yaudah disini dulu, tante mau ngobrol tentang Arini. Boleh?"
Rere menatap kedua temannya sekilas yang mengendikan bahu. Akhirnya Rere mengiyakan permintaan Nara. Begitu Silfia dan Nana pulang, Nara mengajak Rere duduk di sofa.
"mulai deh mama" sindir Keenan.
"udah kamu tidur aja, dek. Istirahat, mama mau ngobrol sama Renata" sahut Nara, Rere tersenyum singkat. "jadi gimana kamu sama keluarga bisa kenal Arini?"
"aku gak begitu paham awalnya sih, tan. Tapi mama bilang tante Arini itu sempat bantuin mama pas kerja dulu. Disitu mama mulai kenal tante Arini. Beliau baik banget. Bahkan sama kakak aku" jelas Rere.
Tak hanya Nara, Keenan juga ikut menyimak cerita Rere namun tak berniat untuk memberi komentar atau apapun. Nyatanya Keenan masih lemas dan mual kalau terlalu lama mengobrol. Jadi ia memilih untuk diam.
"kamu punya kakak?"
"iya, tan. Laki-laki, dua tahun di atas aku. Tante Arini deket banget sama kak Bayu"
"Arini... dia memang sebenarnya perempuan yang baik. Tapi gak tau kenapa bisa... hm. Semoga dia bahagia disana"
"aamiin"
"ma"
Nara menoleh pada Keenan yang matanya terpejam dengan kerutan di keningnya yang kentara jelas. Nara sontak mendekati Keenan dan berusaha untuk tidak panik. Rere hanya berdiri, membeku dengan perasaan khawatir.
"sakit banget" keluh Keenan.
"apanya?" tanya Nara sembari mengusap kepala Keenan.
"kepala, pusing banget ma"
Ingin Keenan berteriak merasakan sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya. Tapi ia tidak ingin mamanya panik apalagi sampai menangis. Dan jangan lupakan Rere yang juga disana.
"mau papa" kata Keenan masih dengan mata terpejam.
"iya, mama telfonin papa"
Nara keluar menelpon suaminya sekaligus memanggil dokter. Rere masih di dalam. Ia mendekati Keenan lalu mengusap bahu Keenan berharap memberikan ketenangan meski tidak akan bisa mengurangi sakit yang Keenan rasakan.
"thanks, Re" ucap Keenan begitu lemah.
"lo gak bosen makasih terus? mendingan tidur sekarang sambil nunggu pak Feri dateng" ujar Rere dibalas anggukan lemah oleh Keenan.
"nunggu mama"
"ada gue, Keen. Gak papa lo tidur aja, tante Nara juga lagi panggil dokter"
Keenan menghela nafas pelan. Lama-lama ia kelelahan sendiri menghadapi rasa sakit yang tidak memberikan sedikit celah agar ia bisa bernafas normal serta rasa sakit di kepala yang serasa ditusuk ribuan jarum.
Rere menggigit bibir bawahnya melihat Keenan yang memejamkan mata dengan air mata yang mengalir begitu saja. Apa sesakit itu yang Keenan rasakan hingga ia menangis. Tak peduli rasa gengsi karena ada gadis yang menemaninya, Keenan tidak kuat dengan sakit yang ia rasakan hingga berakhir dengan menangis dalam diam.
***
Revan Devara, siapapun akan memanggil Revan kecuali Megan yang sejak awal bertemu memanggil lelaki itu Dev. Pertemuan Revan dengan Megan pertama kali adalah saat kakak perempuan Revan melaksanakan tunangan. Kala itu Revan dan Megan masih berada di bangku SMA.
Revan masih duduk di ruang kerjanya meski kantor sudah akan tutup. Jabatannya sebagai direktur muda tidak memberikan kebahagiaan apa-apa. Yang ada hanya beban dan tanggung jawab. Termasuk menjadi tunangan seorang dokter cantik bernama Megan.
"kalo bukan karena kakak kamu, kita gak akan kejebak dalam situasi ini. Kamu dan dokter itu pantes bahagia bersama"
*
*
*
tbc