Nara mati-matian menahan tangisannya meski pada akhirnya air mata terus lolos dari mata indahnya. Feri sedikitpun tidak melepas pelukannya dari tubuh sang istri. Keduanya sedang berhadapan dengan si bungsu yang kini tertidur dengan damainya. Nara semakin erat mengenggam tangan Keenan yang masih terasa hangat.
"Gak papa sayang, gak papa. Maaf buat Keenan selalu ngerasain sakit. Sekarang Keenan harus janji sama mama, Keenan gak sakit lagi ya nak. Adek, mama sayang sama adek. Makasih udah lahir jadi anak mama"
Hati Keyvan terasa sangat sakit mendengar kata-kata Nara pada sang adik yang tidak lagi bernafas. Keyvan yang tadinya berdiri di sisi lain kini berjongkok di samping Nara. Menciumi tangan mamanya sambil terisak kuat.
"Maafin Keyvan ma, maaf. Gak banyak yang bisa Keyvan lakuin buat adek"
"Nggak, sayang. Keyvan harus janji sama mama jangan tinggalin mama ya, mama sama papa cuma punya Keyvan sekarang"
Nara menciumi Keyvan. Wanita itu bahkan menghapus air mata Keyvan yang lebih deras mengalir dibanding dirinya.
"Lihat adik kamu, kita lepas dia. Maafin adik kamu ya sayang"
Kini giliran Feri yang mengusap rambut Keenan. Rambut yang sempat menipis dan kini sudah lebat kembali. Pria paruh baya itu menciumi kening Keenan. Sangat berat melepas putra bungsunya, namun Feri juga tidak lagi bisa menahan sang putra untuk pergi.
"Pa, ikhlasin aku ya. Aku capek"
"Iya nak, papa ikhlas. Adek istirahat yang tenang. Papa bakal jaga mama dan kakak. Keenan selamanya akan jadi jagoan papa. Makasih nak, sudah mau bertahan begitu lama"
Feri menatap wajah pucat Keenan. Mata indah yang kini tak lagi terbuka untuk selamanya. Feri menangis tersendu tanpa suara. Nara mengusap punggung sang suami. Feri yang selama ini nampak selalu tegar dan menjadi penyanggah untuknya dan Keyvan justru begitu rapuh. Feri memeluk Nara juga Keyvan, mengecup kedua harta berharga yang kini ia punya.
Lagi, Feri tidak bisa pungkiri ia masih ingin terbangun dengan menganggap semuanya adalah mimpi buruk. Feri tidak ingin percaya bahwa anak laki-lakinya benar-benar pergi setelah sekian lama harus berperang melawan kanker. Namun rasa sesak dan sakit di hatinya menyadarkan Feri bahwa semua ini adalah kenyataan yang harus ia terima.
Di sisi lain Ferdi tak melepaskan genggamannya dari tangan Dirga. Sejak dinyatakan waktu kematian Keenan, Dirga belum bereaksi apapun. Bahkan ia tidak mau masuk melihat saudaranya meski tadi Ferdi sempat masuk mencium keponakannya untuk yang terakhir. Rian sempat menelpon bundanya sambil terisak. Namun Dirga masih diam.
"Ga, jangan gini nak" ucap Ferdi.
"Aku lagi berusaha untuk ikhlas pa. Aku lagi meyakinkan diriku bahwa ini yang terbaik buat saudara aku" kata Dirga.
"Gak papa nangis, nak. Kalau kamu tahan kamu juga yang sakit"
"Papa tau, saking sakitnya aku sampai gak tau gimana aku bisa nangis. Tiga kali, pa. Tiga kali aku ditinggal orang yang aku sayang"
"Ga..." lirih Rian.
"Pertama Savira, cewek yang paling gue cinta sampai gue rasanya belum bisa nemuin pengganti dia. Tuhan ambil Savira dan keluarganya di laut. Kedua mama, perempuan yang bahkan belum sempat gue cium tangannya dan gue panggil mama secara langsung. Sekarang, saudara dan sahabat terbaik gue. Gue harus marah ke siapa Yan?"
"Ga, kita lahir Tuhan udah ngasih cerita ke hidup kita. Jodoh, rejeki, kematian... semuanya udah diatur. Lo cuma perlu ikhlas untuk semuanya dan tetap jalanin hidup sebaik mungkin. Jangan jadikan ini sebagai akhir hidup lo, Ga. Savira, tante Arini, bahkan Keenan gak bisa bahagia kalau kepergiannya tidak direlakan"