Empat Puluh Satu

1.3K 140 9
                                    

Rere membawa beberapa cemilan dan minum hangat ke gazebo di taman rumah Keenan. Kali ini ia sedang belajar bersama Keenan juga Dirga dan Rian. Tadinya Rere membantu Nara menyiapkan cemilan di dapur karena ia pun merasa sudah akrab dengan wanita itu.

"jadi N harus ketemu dulu" suara Dirga menjelaskan jawaban pada Rian memecah keheningan.

"Ketemu siapa, Ga?" Sahut Rian.

"Gua serius teletubbies. Nyebelin lo! Minta diajarin juga"

"Dih ngambek. Iya iya paham gue. Makasih ya Dirga yang gantengnya kayak Dilan 2020"

Keenan dan Rere terkekeh. Keenan merapatkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Padahal ia sudah memakai pakaian tebal, jaket, dan kaos kaki. Masih saja terasa dingin.

"Dingin banget ya?" Tanya Rere.

"Deman lo" sambung Dirga merasakan sensasi panas di kening Keenan. "Gue bilang tante dulu"

"Eh jangan, Ga" cegah Keenan. "Gue-"

"Gue gak papa. Mau bilang itu kan lo? Jelas jelas badannya panas kayak gitu. Pusing kan dari tadi" ujar Dirga dengan intonasi sedikit kesal.

"Kamu ke kamar aja deh, istirahat di dalam" sahut Rere.

"Aku udah minum obat. Bentar lagi mendingan kok"

"Bener Dirga sama Rere, jangan bandel deh Ken"

"Rian, Dirga, Rere... besok ujian. Kalo sekarang gue ngeluh sakit, yang ada besok gak boleh sekolah"

"Ujian bisa nyusul kan Ken, atau minta aja pengawas dateng ke rumah"

"Gue udah mau putus sekolah habis ujian. Waktu gue di sekolah udah gak banyak. Gue gak mau sia-siain waktu itu buat di rumah"

"Kenapa?"

Keenan, Dirga, Rere, dan Rian menengok ke sumber suara. Keyvan baru saja selesai mandi menghampiri mereka. Sepertinya Keyvan mendengar sebagian obrolan empat remaja itu.

Keyvan mendekat, menempelkan punggung tangannya ke kening Keenan. Bisa ia rasakan sensasi panas menjalar ke punggung tangannya. Keyvan hanya menatap Keenan bersamaan dengan helaan nafas. Mau dilarang pun Keenan akan tetap berangkat sekolah dan melakukan apa yang dia mau. Dokter Haris juga Vanya sudah mengatakan pada keluarganya bahwa yang terpenting saat ini adalah psikologis Keenan. Emosi yang stabil dan membiarkan Keenan melakukan yang ia suka dengan tetap mengawasinya.

"Cuma seminggu, kak. Bisa kok gue" ucap Keenan.

"Iya, gue juga yakin lo bisa. Awas aja nilai lo turun" gurau Keyvan membuat Keenan terkekeh.

Ada perasaan sakit yang Keyvan rasakan mendengar suara sang adik yang terdengar semakin pelan dan lemah. Pikiran dan perasaannya tak henti dirundung rasa cemas menyangkut Keenan yang sekarang. Ada beban yang ia tanggung sendirian hari ini, tanpa membaginya pada orangtua apalagi Keenan. Keyvan menjaga hati semua orang agar tetap baik-baik saja.

"Maaf, dokter Key. Saya tidak bisa bertindak banyak. Mengenai penyakit Keenan sekarang kami hanya menunggu keajaiban dengan tetap melakukan yang terbaik. Saya harap Keenan mendapatkan apa yang belum ia dapatkan. Buat adik kamu bahagia, dok"

"Kakak?"

Keyvan terkesiap oleh panggilan Keenan dan tepukan Dirga. Ia melamunkan apa yang tadi ia dengar di ruang dokter Haris. Bahkan Vanya langsung berlari keluar ruangan, menangis sendirian di lorong yang sepi.

"Kok ngelamun sih?" Protes Dirga.

"Nggak kok, lagi inget inget kayak ada yang ketinggalan di ruang praktik tadi" sanggah Keyvan, tentu saja bohong. "Ken, butuh sesuatu?"

"Apaan?" Tanya Keenan.

"Ya mana gue tau. Kali aja lo pengen apa gitu"

"Mau lo beliin?"

"Selagi masih batas wajar, iya. Apapun itu"

"Tapi..." Keenan menggantungkan kalimatnya dan tersenyum jahil. "Yang gue minta susah deh kayaknya. Gak bisa dibeli pake uang juga"

"Hah?! Emang kamu mau minta apaan?" Sahut Rere.

"Jangan aneh aneh lo, Ken" sambung Rian.

"Emang mau minta apa sih dek? Pacar? Kan udah ada Renata" kata Keyvan.

"Enak aja kalo ngomong!" Sergah Keenan. "Gue pengen..."

"Apa? Yang jelas ah"

"Pengen liat lo nikah"

***

Hari ketiga ujian berlangsung. Keenan pikir akan lancar seperti dua hari sebelumnya. Tapi ia rasa akan sulit untuk hari ini. Bagaimana tidak, baru saja ia sampai di sekolah, hidungnya berdarah. Belum sempat masuk kelas, Keenan ke toilet dulu membersihkan darah yang ia kira cukup banyak.

"Mimisan gak kira kira nih. Pake pusing lagi" gerutu Keenan.

Air washtafle mengalir berubah merah. Keenan meremas pinggiran washtafle, menyalurkan rasa sakit yang menghantam kepala bagian belakangnya. Keenan buru-buru mengeluarkan tiga botol obat dalam tasnya.

Tanpa Keenan sadar, seseorang keluar dari salah satu bilik toilet. Orang itu menatap Keenan dengan tatapan yang paling Keenan benci, yaitu tatapan kasihan. Ia lantas mengeluarkan tumbler hitam berisi air mineral yang ia letakkan di samping botol obat Keenan.

"Vano?"

Keenan terperangah dengan keberadaan Vano yang memberinya minum sebelum ia menelan obat-obatan pahit itu. Tak ada yang Vano katakan, ia lebih memilih berlalu.

"Van!" Keenan menahan Vano.

"Apa?" Tanya Vano sinis.

"Ini-"

"Gue tau obat udah kayak cemilan buat lo. Bahkan gue yakin lo bisa nelan obat segitu banyak gak pake air. Tapi gue udah terlanjur lihat, ngeri gue bayanginnya"

Kini Keenan yang bungkam. Membiarkan Vano kembali melangkah keluar. Hingga sampai di luar toilet Keenan kembali menahan langkah Vano.

"Vano, tunggu!"

"Apa lagi sih?! Lo takut gue racunin?!"

"Keen!"

Vano dan Keenan menoleh ke Alfa dan Reza. Vano mendengus kesal kemudian pergi begitu saja.

"Keen, lo diapain sama dia?" Tanya Alfa.

"Bilang, biar kita yang urus" sambung Reza berapi-api.

Keenan hanya menggeleng sambil tersenyum. Urung ia meminum obat, menahan sakit sebentar rasanya Keenan masih sanggup.

Di dalam kelas, Rere gusar karena Keenan belum juga muncul. Sebentar lagi bel akan berbunyi. Kecemasannya sedikit luntur melihat Keenan masuk bersama dua sahabatnya. Rere tersenyum lega saat Keenan juga tersenyum padanya kemudian duduk di bangku ujiannya.

Keenan tidak ingin banyak bicara. Ia menghemat tenaganya untuk dua mata pelajaran.

Selama ujian berlangsung Keenan terlihat baik-baik saja. Rere, Alfa dan Reza sesekali menengok Keenan. Istirahat jeda ujian pun Keenan hanya tidur, di kala teman teman satu kelasnya gaduh belajar bersama bahkan membuat contekan.

"Keen?" Rere mendekat.

Yang tadinya Keenan menelungkupkan kepalanya pada lipatan tangan di meja, kini ia menghadap Rere.

"Maaf ya, Re. Cuek aja dari tadi. Agak pusing soalnya" ujar Keenan.

"Pulang? Atau mau istirahat di uks aja? Aku bilang Alfa sama Reza ya?"

"Gak usah. Masih bisa tahan kok. Nanggung juga kalo rebahan di uks, sepuluh menit lagi udah bel"

Rere hanya mengangguk menuriti Keenan. Tangannya lalu bergerak memijit pelipis Keenan. Merasa nyaman, Keenan memejamkan mata sambil tersenyum kecil. Ia lalu menghentikan tangan Rere memijit pelipisnya, justru menggenggan tangan Rere erat.

*

*

*

Tbc

Bahagia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang