Keenan tertawa puas melihat ekspresi terkejut sekaligus marah dari bu Arum saat ia sengaja memberikan jawaban pada teman satu kelasnya yang saat itu langsung bersorak ria. Ia bahkan segera berlari menjauhi kelas hingga Andre harus mempercepat langkahnya mengikuti Keenan. Kini Andre menemukan Keenan duduk bersandar pada dinding di salah satu kursi depan kelas. Beruntung itu deretan ruang kelas dua belas yang sudah sepi karena memang hari ini kelas dua belas adalah hari bebas.
Andre buru-buru mendekat melihat Keenan kepayahan mengatur nafasnya yang memburu. Belum lagi wajah Keenan yang tertutup masker terlihat semakin pucat dan berkeringat.
"Bandel banget sih!" Kesal Andre. "Ngapain lari-lari coba? Kayak gini kan akhirnya. Lo-"
"Bang... hhh... gue pusing... hhh... diem... bentar napa si" potong Keenan masih dengan deruan nafas berat.
Andre duduk di samping Keenan. Memberikan usapan pada dada Keenan membuat anak itu begitu nyaman.
"Sakit pasti? Ayo pulang, gue anterin tadi pake mobil ke sekolah. Gue gendong sekarang sampe parkiran" ujar Andre dalam mode tidak ingin di bantah.
Keenan tidak menggubris. Masih memejamkan mata dan merasakan nyamannya usapan Andre. Beruntung ia berangsur membaik dan nafasnya tidak begitu berat seperti tadi.
"Pengen nongki di cafe biasanya" ucap Keenan.
"Gila lo! Gak ada nongki nongki segala. Ayo gue anter pulang!" Sergah Andre.
"Bentar doang. Gue ijin papa, sejam aja"
"Nggak"
"Bang, ayolah. Gue udah lama gak nongki sama lo. Gue pengen ngobrol. Bentar doang"
"Ngobrol di rumah lo, ayo gue anter pulang"
Keenan menggeleng. Tidak mau juga tidak setuju dengan ajakan Andre.
"Jangan batu, Ken. Lo sakit-"
"Iya! Dari dulu gue sakit!"
"Ma-maaf, bukan gitu maksud gue"
"Gue cuma minta waktu sebentar. Gue pengen ngobrol sama lo. Sejam aja, gue ijin papa, mama, sama kakak Keyvan. Tapi kalo lo gak mau ya udah, gak usah. Lo pulang aja, gue nunggu supir jemput"
"Ayo. Gue aja yang ijin ke pak Feri"
Keenan menatap Andre tak percaya. Andre mengabulkan keinginannya. Bahkan kentara sekali Andre seakan rela jika harus dimarahi keluarganya. Tapi dugaannya salah. Saat Andre menelpon Nara, mamanya itu mengijinkan ia dan Andre keluar.
Kini mereka sudah berada di cafe tempat tim basketnya biasa berkumpul. Keenan menatap jendela yang memperlihatkan langit sedang mendung.
"Kak"
Andre terkesiap mendengar Keenan memanggilnya seperti itu, artinya Keenan sedang serius.
"Gak pengen jelasin apa gitu ke gue?" Tanya Keenan.
"Maksudnya?" Andre bingung tak tau arah pembicaraan Keenan.
"Lo suka Rere"
"Bentar... ini maksud lo apa?"
"Lo suka sama Renata. Iya kan?"
Entah kenapa pertanyaan Keenan benar-benar membungkam Andre. Harusnya ia cukup menjawab tidak. Namun begitu sulit untuk diucapkan. Dalam hati ia meruntuki dirinya sendiri, Andre bodoh.
"Gue gak lagi marah kok, kak. Gue nanya. Tapi kalo lo gak mau jawab ya gak papa. Gue udah dapat jawaban" kata Keenan terdengar tenang. "Mata lo gak bisa bohong"
"Maaf" hanya itu yang Andre ucapkan. "Gue nahan diri karena gue tau gadis itu punya lo"
"Nggak, dia bukan punya gue. Dan selamanya gak bisa jadi milik gue. Gue percaya lo bisa lebih dari gue"