Dua Puluh Enam

2.3K 223 4
                                    

Keenan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tidak ingin menjawab pertanyaan Rere. Sedangkan si gadis gusar menunggu jawaban atas pertanyaan yang ia berikan.

"Keen, lo kenapa sih? Jangan kayak gini dong. Kasihan-"

"kasihan nyokap bokap gue? kasihan kakak gue? kasihan orang-orang di sekitar gue?" Keenan memotong perkataan Rere. "lebih kasihan lagi gue ada di tengah-tengah kalian dengan keadaan kayak gini. Kalo Tuhan sayang sama gue, kenapa harus nyusahin orang-orang sekitar gue? kenapa gak panggil gue aja?"

"Ken! jangan pesimis dong! yakin lo bisa sembuh"

"gue gak pesimis, Re. Tapi keadaan gue bikin orang-orang susah. Gue benci sama diri gue sendiri. Gue cuma benalu, asal lo tau"

"gak! itu semua cuma pikiran lo aja. Liat, orang-orang sayang sama lo. Kalo mereka anggap lo benalu, mereka gak akan perjuangin kesembuhan lo, Keenan"

Keenan bungkam karena Rere. Rasa bersalah dua kali lipat meruak dalam benaknya. Rasa bersalah karena menjadi benalu juga rasa bersalah yang tidak mampu memahami perasaan orang-orang yang memperjuangkan dia.

"Keen, lo mau kan berjuang? kita berjuang bareng buat kesembuhan lo. Buat orangtua lo bahagia dengan usaha lo untuk sembuh. Keenan mau kan bertahan sekali lagi?" ujar Rere menatap Keenan penuh harap.

"gue gak tau apa motivasi lo lakuin ini ke gue yang udah gak punya harapan" balas Keenan yang terang-terangan menunjukkan kebingungannya. "ngapain lo susah susah datang kesini cuma buat nasehatin gue yang hampir punya niat bunuh diri? Ah iya, bego banget gue. Yang telfon duluan kan gue. Maaf, Re. Gue selalu bikin lo susah, panik, bahkan sedih. Gue juga gak tau kenapa gue pengen lo selalu ada di samping gue saat kayak gini-"

"Ken, gue udah tau" potong Rere yang sukses membuat Keenan kembali bungkam. "soal perasaan lo, gue tau semuanya. Dirga udah cerita"

Rere bingung akan sikap Keenan. Anak itu kini tersenyum hambar setelah mendengar pengakuannya. Tak hanya itu, Rere bisa melihat kilatan amarah dan kecewa dalam sorot mata sayu Keenan meski anak itu tersenyum.

"oh, lo udah tau. Dan sekarang lo kasihan sama cowok yang jatuh cinta sama lo karena dia sekarat?" kata Keenan.

"Keen, gak gitu. Maksud gu-"

"pulang aja, Re. Gue gak butuh belas kasihan dari lo atau siapapun. Sorry soal perasaan sepihak gue, bakal gue lupain"

"Keen, gue mau-"

"pulang, Re"

"nggak dengerin dulu!"

"Renata keluar!"

Feri dan Nara berlarian ke kamar Keenan setelah mendengar suara sang putra yang berteriak mengusir Rere.

"dek? kenapa sih?" tanya Nara.

"suruh dia keluar ma" pinta Keenan.

"iya kamu kenapa? dijenguk temennya juga"

"suruh dia keluar, ma! mama sama papa juga, semuanya keluar!"

"dek!" sentak Feri.

Keenan justru berdiri dengan tubuhnya yang sedikit terhuyung karena lemas.

"kalian yang keluar atau aku?"

Nara menggandeng Rere untuk keluar. Tinggal Feri dan Keenan dalam ruangan itu.

"papa gak suka kamu kayak gini. Kamu kenapa?"

"aku mau sendiri, pa. Tolong keluar"

Feri menghela nafas kasar kemudian keluar seperti permintaan Keenan. Menutup pintu kamar anaknya dan membiarkan si pemilik kamar sendirian dengan perasaannya yang hancur.

Bahagia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang