Dua Puluh Lima

2.2K 193 5
                                    

Manusia tidak selamanya baik juga tidak selamanya buruk. Meski selalu dipandang negatif tapi sekecil apapun suatu hal akan tetap memiliki nilai positif.

Silfia masih memikiran Keenan saat bersamanya di depan minimarket. Benarkah selama ini ia menganggu Keenan? tapi Silfia hanya menunjukkan rasa sukanya, ah tidak. Gadis itu mencintai Keenan.

"Sil!" pangil Nana.

"Na, gue pengen curhat" ucap Silfia. "Keenan suka Rere"

"keliatan kok" respon Nana membuat Silfia terdiam dan raut wajahnya berubah sendu.

"gue cemburu, Na"

"Sil, gue mau ngomong. Gue harap lo gak akan tersinggung dengan omongan gue"

Silfia menatap lekat manik sang sahabat.

"mending lupain Keenan. Lo bisa dapetin yang lebih dari dia. Gue miris tiap kali liat lo deketin dia, tapi responnya dia apa? gak ada, Silfia. Bahkan dia gak segan nunjukin risihnya dia kalo lo ada. Dari awal gue juga udah tau Keenan suka Rere, walaupun yang ada Keenan jodohin Rere sama Dirga karena emang Rere punya rasa sama Dirga. Lo tau kenapa Keenan lakuin itu?" Silfia menggeleng. "karena Keenan sakit"

Silfia langsung berdiri dari duduknya. Ada sedikit rasa tidak terima dari apa yang dikatakan Nana. Tapi Silfia sangat menghargai sang sahabatnya yang memperhatikan dia. Silfia hanya butuh waktu untuk sadar dan berusaha ikhlas dengan apa yang terjadi. Ikhlas untuk perasaan yang tak pernah terbalas.

***

Keenan melangkah gontai menuju kamarnya. Ia baru saja pulang bersama Nara dan Feri yang tadi menjemputnya dari sekolah karena harus ke rumah sakit. Perasaan Keenan terluka.

Harusnya dia tidak usah datang ke rumah sakit.

Tidak perlu mendengarkan penjelasan dokter Haris dan Vanya.

Tidak perlu melihat ekspresi kedua orangtuanya di ruang dokter Haris.

Dan ia tidak perlu melihat senyum paksaan dari bibir Keyvan.

Sejak awal, Keenan sering berpikir bahwa kehadirannya selalu dalam posisi yang salah. Ia menyusahkan banyak orang. Tapi yang ia dapatkan tidak sebanding. Ia hanya memberikan kesulitan dan kesedihan sedangkan yang ia terima adalah kasih sayang, cinta dan perhatian.

Tidak adil bukan?

Ya. Tidak adil untuk orang-orang terdekatnya, menurut Keenan. Nara dan Feri membiarkan putra bungsu mereka masuk ke kamar tanpa sepatah kata. Keduanya tau si bungsu dilanda kecewa. Tapi mereka tidak tau bahwa si bungsu kecewa pada dirinya sendiri.

"halo Re?"

Entah apa yang Keenan pikirkan, ia memanggil gadis itu saat merasa telfonnya terhubung. Keenan tak tau kenapa dia menelfon Rere. Hanya ingin atau dia butuh seseorang.

Tapi kenapa harus Renata?

"kenapa Keen?"

"Re, gue pengen ngomong. Dengerin, jangan dipotong"

"i-iya ngomong aja, tapi lo gak papa kan? lemes gitu suaranya"

"Re, gue takut sakit. Karena tiap gue ngrasain sakitnya, gue kebayang bakal ninggalin orangtua gue"

"Tapi lo tau nggak? malam ini, detik ini. Hal yang paling gue takutin justru gue tunggu. Gue pengen udahan, Re"















"Gue pengen mati"















"Keenan? lo di rumah kan? gue boleh main gak?"

Bahagia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang