Tiga Puluh Satu

2K 183 5
                                    

Tubuh lelah Feri dan Nara seakan tak terasa. Meski sudah menunjukkan pukul dua dini hari, keduanya masih terjaga. Feri dan Nara duduk di sofa ruang rawat Keenan sambil terus menatap putranya yang belum bangun sejak siang tadi. Nara menyandarkan kepalanya ke pundak Feri, tangan mereka saling bertaut.

"tidur gih, ma" ucap Feri.

"nanti aku tidur, anak aku bangun aku gak tau" kata Nara. "kamu yang pasti capek banget hari ini, mas"

"kita semua capek. Termasuk Keenan, makanya dia gak bangun-bangun. Dipuas-puasin tidurnya"

"kalo Keenan bangun, aku gak akan marahin dia meskipun dia nakal"

Feri hanya tersenyum sambil menghela nafas. Lama kelamaan ia mendengar isakan kecil dan bahunya terasa basah. Istrinya tengah menangis sekarang. Feri langsung memeluk Nara. Sejak sore saat sampai di rumah sakit, Nara tidak menangis bahkan saat dokter Haris menjelaskan semuanya. Tapi pertahanan Nara runtuh saat ini juga.

***

"ma..."

Nara yang saat itu masih terlelap seakan terkesiap mendengar panggilan lirih dari seseorang yang sejak kemarin ia tunggu untuk terbangun.

"halo sayang" sapa Nara yang mendekat pada Keenan.

Wanita itu mengucup singkat kening Keenan yang basah karena peluh. Disusul Feri yang juga terbangun lalu berdiri di sisi yang lain sembari mengusap tangan Keenan yang lagi-lagi bengkak karena infus.

"mu...al" lirih Keenan di balik masker oksigen.

Bahkan ia memejamkan mata dan mengerutkan keningnya seakan menahan sesuatu. Nara mengambil emesis basin sedangkan Feri menaikkan brangkar Keenan hingga anak itu berada dalam posisi duduk.

"hoek"

Feri terus mengurut tengkuk Keenan untuk memudahkan Keenan memuntahkan isi perutnya. Tak ada sedikit pun perasaan jijik yang terbesit pada Feri dan Nara saat si bungsu memuntahkan sesuatu berwarna hijau kental. Padahal jelas sekali kemarin Keenan tidak makan apa-apa.

Rasanya Keenan ingin menangis saja karena tubuhnya begitu lemas. Apalagi setelah muntah energinya terkuras begitu banyak. Feri membersihkan mulut Keenan dengan tisu basah saat Nara membereskan muntahan Keenan.

"pa"

"hm? kenapa dek?"

"Keenan gak kuat... tapi... mama bakalan sedih"

Feri terkesiap. Ia langsung memeluk Keenan dan membiarkan anak itu menangis.

"gak apa-apa, nak. Keenan bebas memilih, mama sama papa gak akan maksa kamu lagi. Kita stop kalo emang kamu gak kuat" ujar Feri.

"tapi Keenan mau sembuh, pa"

"kita cari cara lain yang gak bikin kamu kesakitan kayak gini, ya? jangan khawatir. Kamu gak usah mikir aneh-aneh. Sehat dulu yang penting"

Nara mendengar semuanya. Mendengar apa yang dikatakan anaknya pada sang ayah. Nara berusaha meredam suara tangisnya. Pada saat inilah Feri harus menjadi yang terkuat untuk keluarganya. Feri tau istrinya sedang menangis di balik pintu toilet.

***

Di lain tempat, Ferdi bersama istri dan anak semata wayanya sudah sampai ke tempat tujuan. Mereka sudah sampai di Padang siang ini setelah berangkat pagi tadi.

Setelah mampir ke hotel untuk menaruh barang bawaan dan makan siang, ketiganya berangkat ke makam Arini. Itu juga berkat keluarga Rere yang menyiapkan banyak hal untuk Ferdi dan keluarganya ketika sampai di padang. Termasuk mobil sekaligus Rahman, seorang supir yang sudah tau kemana mereka akan pergi.

Inar menatap Dirga yang duduk di sampingnya, sedangkan Ferdi di depan bersama supir. Dirga hanya menatap jalanan kota padang yang tak begitu padat seperti di jakarta.

"sayang" lirih Inar sembari menggenggam tangan Dirga. "kenapa?"

Dirga hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Inar. Wanita itu benar-benar layaknya ibu kandung bagi Dirga. Kepekaan Inar terhadap Dirga bahkan melebihi Ferdi sebagai orang tua kandung.

"kepikiran yang di jakarta. Disini juga gak sabar mau ketemu mama Arini tapi ada perasaan gak siap" keluh Dirga.

"Keenan udah bangun, lagi pemulihan. Gak usah khawatir" sahut Ferdi yang sejak tadi hanya menjadi pendengar.

"siap gak siap, udah saatnya ketemu mama. Kamu harus kuat" kata Inar. "walaupun gak bisa setiap hari mengunjungi mama, gak bisa sering. Kamu harus manfaatin saat dimana kamu bisa deket sama mama. Semua paham Dirga lagi berduka, tapi berlarut-larut juga gak baik, nak. Kasihan mama Arini gak akan tenang" ujar Inar.

Dirga mengangguk merespon nasehat Inar. Ia lantas duduk lebih dekat dengan Inar lalu menyandarkan kepalanya di bahu Inar. Dirga senang saat Inar membelai rambutnya sambil sesekali mencium kepalanya.

"sudah sampai, pak" ucap Rahman setelah memasuki komplek pemakaman. "nanti setelah dari sini, ibu Sekar nyuruh saya antar bapak sekeluarga ke rumah bu Arini"

"rumah mama? masih ada pak?" tanya Dirga.

"ada dek. Rumahnya gak dijual. Dirawat sama keluarga bu Sekar. Nanti disana ada keluarga bu Sekar yang nunggu pak Ferdi dan keluarga" jelas Rahman.

"ayo" ajak Ferdi begitu mobil sudah berhenti.

Rahman mengantar tiga orang itu menuju gundukan tanah yang kini sudah ditumbuhi rumput hijau seperti makam lainnya. Dirga yang pertama langsung berjongkok mengusap nisan bertuliskan nama mama kandungnya.

"mama" suara Dirga terdengar bergetar. "mama... Dirga kangen sama mama. Dirga sayang mama Arini"

Ferdi merangkul Inar. Keduanya masih berdiri di belakang Dirga yang kini sudah terisak di hadapan nisan Arini. Inar tidak sanggup melihat kesedihan Dirga. Wanita itu ikut berjongkok lalu memeluk Dirga dari belakang.

"maafin Dirga baru nemuin mama sekarang. Dirga sayang mama" isak Dirga.

"sabar sayang, ikhlas" bisik Inar.

Cukup lama untuk membuat Dirga tenang dan menghentikan tangisnya. Usai berdoa, Dirga berdiri masih dengan menggenggam erat tangan Inar sebagai pegangannya. Kini giliran Ferdi yang berjongkok mengusap nisan sang mantan istri.

"aku janji sama diriku sendiri untuk gak bikin anak kamu benci sama kamu. Meski ada Inar yang dari kecil rawat Dirga, bukan berarti Dirga gak kangen sama kamu. Aku gak tau kalau cobaan hidup kamu begitu berat. Sekarang kamu harus tenang disana. Kamu pantas bahagia, Arini. Kamu adalah orang yang pernah menjadi yang tercinta buat aku. Aku janji akan jaga anak kita satu-satunya"

Ferdi mencium singkat nisan Arini lalu berdiri mengusap kepala Dirga sambil tersenyum kecil. Dirga hanya menatap sendu Ferdi yang kemudian menghambur ke pelukannya. Ferdi mengusap bahu Dirga dan menciumi kepala Dirga.

"mama kamu orang baik" bisik Ferdi pada Dirga.

Ferdi merasa Dirga mengangguk dalam pelukannya. Ferdi merentangkan tangannya bermaksud memeluk istrinya juga. Inar tersenyum ikut memeluk Dirga.

*
*
*

tbc

Bahagia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang