Empat Puluh Sembilan

1.3K 138 32
                                    

Malam prome night, Dirga tidak ingin datang. Tapi ada sesuatu yang mengharuskan dia datang. Juga teman-teman dan Andre yang membujuknya untuk datang, Rian pun sudah di rumah Dirga untuk menjemputnya. Sejak Keenan dinyatakan koma, separuh nyawa Dirga serasa melayang entah kemana.

Rian tak berani banyak bicara dengan Dirga. Diamnya seorang Dirga bukanlah hal sepele. Rian hanya fokus menyetir mobil sambil sesekali berdehem memecah keheningan.

"Yan" panggil Dirga.

"Kenapa?"

"Bisa minggirin mobilnya sebentar?"

Rian mengrenyit heran. Tak urung ia menepikan mobilnya. Begitu mobil berhenti, Dirga terburu melepas seatbelt dan membuka pintu mobil.

"Heh mau kemana lo?" Erang Rian ikut buru-buru turun dari mobil.

Entahlah, Rian takut sahabatnya ini berbuat hal bodoh. Seperti kabur atau yang lainnya. Pikiran Rian tidak karuan.

"Hoek"

Rian terkejut melihat Dirga muntah, tak ada yang Dirga muntahkan. Hanya cairan bening. Kentara sekali Dirga kesakitan dibagian perutnya yang dicengkram erat. Rian mengurut tengkuk Dirga pelan. Setelah beberapa saat Dirga memberikan isyarat pada Rian bahwa dia selesai. Rian lantas membantu Dirga kembali ke mobil.

"Belum makan sejak kapan lo? Sejak TK?" Sarkas Rian sembari membuka tutup botol mineral dan menyiapkan sebutir obat maag.

Rian tau Dirga memiliki masalah lambung yang sama dengan dia. Maka dari itu Rian selalu membawa obat kemanapun dia pergi karena pada dasarnya Rian suka lupa waktu hingga melewatkan jam makan.

"Minum dulu" suruh Rian.

Dirga hanya menerima mineral dan meneguknya sedikit.

"Obatnya juga dodol"

"Nggak" penolakan singkat Dirga membuat Rian naik pitam.

"Ga, plis ya... badan lo panas banget anjing! Gue mau datang ke prome night, bukan ngrawat bocil kayak lo! Nurut aja kenapa si?!"

"Sakit yang gue rasain gak sebanding sama Keenan sekarang" lirih Dirga yang berusah menahan tangisnya.

Rian meluruh. Ia membanting obat dalam genggamannya ke sembarang arah, pun memukul setir mobilnya cukup keras.

"Mama Inar nyuruh gue untuk ikhlasin semuanya. Tapi gue rasa takdir gak adil sama gue. Pertama, Tuhan ambil Savira dari hidup gue. Kedua, mama kandung gue juga pergi ninggalin gue. Sekarang apa Keenan juga harus Tuhan ambil? Setelah ini apa?"

"Nggak, Keenan gak akan pergi"

"Gue mimpi mama Arini datang dan ajak Keenan pergi. Gue takut itu semua akan terjadi. Gue tau rasanya kehilangan, dan gue gak mau itu terus terulang dalam hidup gue"

"Ga, kalaupun Tuhan berkehendak lain. Keenan bakal tetap ada sama kita. Selamanya Keenan akan selalu ada dalam hati dan pikiran kita. Kita gak boleh egois dengan terus nahan dia"

Rian menarik nafas dalam. Enggan menatap Dirga karena tidak tega melihat Dirga yang seperti ini.

"Kalo boleh jujur, ada saat-saat dimana gue merasa takut dengan yang Keenan omongin. Dia seakan bakal pergi jauh sampe kita gak lagi bisa gandeng dia. Satu-satunya orang yang bisa gue ajak bicara cuma bunda. Bunda bilang kehilangan dan melepaskan gak melulu tentang sedih. Emang sedih buat kita, tapi setidaknya kita juga membiarkan orang yang kita sayang untuk dapatkan yang terbaik. Dari lubuk hati gue, gue udah gak tahan liat Keenan kayak gitu di rumah sakit"

"Bisa nggak kita ke rumah sakit aja? Gue pengen ketemu Keenan?"

Rian mencari botol obat yang tadi ia buang hingga menemukan di bawah kursi kemudinya. Diambilnya satu dan ia sodorkan pada Dirga.

Bahagia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang