Dua Puluh Satu

2.4K 215 11
                                    

Keenan merapatkan jaketnya. Ia bahkan mematikan ac mobil dan hanya membuka setengah jendela mobil. Tanah di kota Jakarta masih basah setelah hujan melanda sejak tadi malam hingga fajar terbit. Sekarang pun masih ada rintik rintik air yang turun.

"yakin udah kuat? kalo nggak, papa belok kanan nih ke rumah sakit" suara Feri mengintrupsi Keenan.

"yakin, pa. Tapi gak tau dingin aja gitu" balas Keenan.

Sambil menyetir, Feri meletakkan telapak tangannya pada kening Keenan. Syukurlah Keenan tidak demam. Lima menit berlalu, keduanya sampai di pekarangan sekolah. Hari ini memang Keenan sengaja berangkat bersama Feri karena dia sedang malas membawa kendaraan sendiri dan pak Yudi sedang mengantar mamanya untuk bhakti sosial di Bandung. Feri memang tidak setiap hari berada di sekolah. Lebih banyak menghabiskan waktu di kantor yayasan. Berangkat bersama Keyvan bukanlah ide bagus. Bukannya sampai di sekolah yang ada dia akan disekap di UGD.

"nanti kalo butuh apa-apa telpon atau langsung ke ruangan papa ya?" suruh Feri.

"siap!"

"eh, Dirga!" panggil Feri melihat keponakannya baru turun dari mobil.

Padahal semalam Dirga begitu lemah, tapi sekarang ia terlihat baik-baik saja meski masih ada rona pucat dan lesu, juga jaket yang menutupi tubuhnya. Dirga mendekat lalu menyalami Feri.

"udah enakan?" tanya Feri.

"udah om. Sakit lama-lama juga kasihan mama sama papa. Anak satu nyusahin" ujar Dirga.

"nyindir gue lo?" sergah Keenan.

"merasa?"

"heh! masih pagi. Papa pecel nih kalian"

Keenan dan Dirga hanya terkekeh kecil menanggapi Feri. Mereka bertiga berjalan bersama menuju kelas dan ruang kerja. Sesekali menyapa guru, staf dan para siswa yang sudah datang pagi ini. Banyak yang kagum melihat keharmonisan dan kesederhanaan keluarga mereka.

"jadi gimana, Ga?"

"masih mikirin sih, om. Kayaknya mau ke Padang ziarah ke makam mama"

"kali aja gak ada yang nemenin, om mau nemenin kok"

"aku ikut ya, pa!" seru Keenan memotong pembicaraan Feri dan Dirga.

"yang penting-"

"sehat, jangan sampai drop biar bisa berangkat" Feri tertawa saat Keenan menirukan gaya bicaranya.

Dirga ikut tertawa melihat interaksi om dan sepupunya. Lalu netranya menangkap sosok Rere sedang bersama Nana dan Silfia duduk di kursi panjang depan kelasnya. Dirga berjalan mendahului Feri dan Keenan yang keduanya hanya memperhatikan Dirga.

"Re, bisa ngobrol sebentar?" tanya Dirga.

Sebelum mengiyakan, Rere menatap Nana dan Silfia bergantian. Silfia lalu sedikit mendorong Rere agar mengiyakan ajakan Dirga. Akhirnya Rere berdiri lalu beranjak ke kursi lain di depan kelas yang sedang kosong. Di samping itu, Silfia kembali memusatkan atensinya pada ayah dan anak di dekatnya.

"pagi Keenan!" seru Silfia. "pagi pak Feri" sapanya sambil menunduk.

Nana juga menunduk dan memberi salam pada Feri.

"iya selamat pagi" sahut Feri sambil tersenyum ramah. Ia lantas mendekatkan bibirnya ke telinga Keenan dan berbisik "disapa fans kamu tuh, dek. Dijawab dong"

"papa!" erang Keenan membuat Feri tertawa. "pak Feri, masih pagi ya? gak usah usil sama murid!" protesnya.

"iya iya maaf, bos kecil. Yaudah bos besar mau ke ruang dulu. Kalo butuh apa-apa silakan telpon atau langsung kesana" Feri beranjak sambil mengacak rambut Keenan membuat anak itu protes untuk yang kedua kalinya.

Bahagia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang