Empat Puluh Tujuh

1.4K 143 5
                                    

Apapun yang indah dan menyenangkan tak akan terasa bila orang terkasih pun tak merasakan itu. Setiap jam dalam pergantian hari memupuk rasa takut akan kehilangan. Tapi banyak yang berbicara tentang kehilangan dan merelakan, bukan kah itu munafik? Ya, sepertinya begitu. Mereka akan terus berucap baik-baik saja walau dalam benaknya terus dihantui rasa takut akan perpisahan.

Akhir-akhir ini Rere tak banyak bicara bersama Keenan. Ia hanya diam mengenggam tangan Keenan bila ada kesempatan berdua. Hanya menatap dan mendengarkan Keenan berbicara saat ia terbangun. Rasanya mereka berdua hanya berbicara lewat kontak mata.

"Gak dingin? Masuk yuk?" Ajak Rere setelah hampir satu jam hanya duduk melihat anak-anak bermain di taman rumah sakit.

"Bentar" ucap Keenan.

Terlalu payah hanya untuk bicara. Juga berjalan. Ia hanya duduk di kursi roda dan nasal yang tidak bisa lepas dari hidungnya. Paru-paru Keenan sangat bermasalah.

"Kamu malah kecapekan nanti"

"Bentar Re", Rere mengangguk.

"Di sekolah udah ada undangan prome night ya? Kemaren bang Andre aku suruh kesini katanya sibuk ngurusin undangan" ujar Keenan.

"Iya. Kelas kita gak tampil. Tapi salah satu lukisan aku dipajang buat charity"

"Oh ya? Keren dong. Kamu datang?"

"Gak tau. Kayaknya nggak, cuma naruh lukisan aku"

Keenan tidak melihat antusias sedikitpun dari raut wajah Rere. Bahkan mungkin memang Rere tidak berniat datang jika bukan Keenan yang menjadi pasangannya di malam itu.

"Datang aja, kan ada temen-temen" kata Keenan.

"Kamu sembuh gih, biar bisa datang" balas Rere. "Daripada datang ke prome night mending ngobrol sama kamu"

Keenan tersenyum masam. Sepertinya Rere tidak ingin pergi dengan siapapun. Walaupun tidak pasti akan bergandengan dengan Keenan, tapi setidaknya Rere melihat Keenan datang ke prome night sudah bonus tersendiri.

Rere menatap ponselnya yang berdering. Kakaknya mengirim pesan untuk segera pulang. Rere menghela nafas, belum puas ia mengobrol dengan Keenan. Semakin hari semakin sedikit intensitas Rere bertemu dengan lelaki menyebalkan itu.

"Disuruh pulang ya? Balik aja gak papa"

"Ayo kamu juga ke kamar"

"Aku masih pingin disini. Bisa panggilin papa?"

Rere mengangguk. Ia berpamitan lalu melangkah pergi dari taman meninggalkan Keenan sendirian. Sepeninggal Rere, seperti sebelumnya, saat Keenan sendiri akan ia habiskan waktu untuk merenung.

Banyak hal yang ingin ia raih sedangkan waktunya serasa menipis. Keenan menganggap dirinya seakan masih dalam tahap denial walaupun ia sudah cukup menerima segalanya. Ada yang mengganjal dalam hatinya. Bukan sesuatu yang kecil sehingga membuatnya selalu merasa sesak saat memikirkan hal itu.

"Kenapa nggak masuk?" Suara Feri mengintrupsi.

Keenan tak lantas menjawab. Melihat langit yang sore yang semakin menggelap dengan hiasan warna jingga yang juga kian memudar. Akhir-akhir ini Keenan selalu bicara banyak pada Feri dibandingkan Nara. Keluhan dan segala hal yang Keenan rasakan tidak bisa ia tutupi dari Feri. Tapi sedikitpun ia tidak bisa mengungkapkan itu pada Nara dan Keyvan. Entahlah, Keenan juga tidak tau.

Nara selalu datang pagi hingga sore, sedangkan Feri akan menjaga Keenan saat malam bersama Keyvan. Saat ini Keenan menatap papanya ragu.

"Kenapa?" Tanya Feri.

Bahagia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang