Tiga Puluh

2.4K 220 15
                                    

Jujur Keenan belum atau bahkan tidak siap menjalani kemoterapi pertamanya. Ia takut jika kemoterapi tidak memberikan kemajuan apa apa. Bukannya membuat Nara dan Feri bahagia, Keenan akan membuat kedua orang itu kesusahan.

"tegang banget. Santai aja" ucap Ferdi.

Keenan hanya tersenyum sembari mengatur deru nafasnya untuk berusaha tenang. Ferdi yang hari ini memang menganggur sengaja menemani keponakannya untuk kemo. Adik ipar dan istrinya harus mengurusi WO untuk hari ini, Feri juga menghadiri rapat dengan donatur yayasan, sedangkan Keyvan ada dua jadwal operasi pagi ini.

"om?" panggil Keenan.

"kenapa sayang?"

"temenin ya? sampe selesai"

Dapat Ferdi lihat dengan jelas keraguan serta rasa takut dari sorot mata Keenan. Ferdi memaksakan senyum lalu mengangguk mengiyakan permintaan keponakannya.

Sejak tadi Keenan hanya menutup matanya meski dia tidak tidur. Membiarkan tangan kirinya yang terbebas infus digenggam dan diusap pelan oleh ayah Dirga. Tak lama setelahnya dokter Haris dan Vanya masuk bersamaan.

"sudah siap, Keen?" tanya dokter Haris.

"harus siap, dok" jawab Keenan mantap.

Vanya dan Ferdi tersenyum lega mendengar jawaban Keenan dan lantang. Setidaknya anak itu sudah tidak setegang tadi.

Keenan sudah masuk ke ruang kemoterapi. Vanya menutup tirai pembatas lalu cekatan memasang infus baru ke tangan Keenan. Infus yang tentu saja akan diinject obat kemo. Keenan masih setia mengenggam tangan Ferdi. Genggamannya semakin erat tatkala dokter Haris mulai memasukkan obat kemo ke infusnya.

"sshhh" Keenan mendesis lalu menggigit bibirnya.

"dek? jangan digigit bibirnya nanti luka" tegur Ferdi.

"sakit om" rintih Keenan.

"sabar ya, Keenan? kamu sudah tau ini gak akan mudah dan pasti sakit. Saya gak bisa bohongin kamu dengan bilang ini semua baik baik saja" ujar dokter Haris.

"aelah bacod banget nih dokter. Pergi aja udah, gue mau nangis nih" Keenan masih sempat mengumpat di dalam hatinya.

"saya tinggal ya? nanti saya kesini lagi kalo infusnya habis, sekitar satu jam" pamit dokter Haris.

"terima kasih, dok" ucap Ferdi.

"saya juga mau jaga keluar" kata Vanya lalu mengekor dokter Haris keluar ruangan.

Ferdi tidak bisa melepaskan pandangan dari Keenan. Anak itu terus memejamkan matanya erat hingga timbul kerutan di dahi dan rintihan sakit yang terdengar pelan namun menyakitkan. Baru sedikit obat yang masuk ke tubuhnya, tapi anak itu sudah kepayahan mengahadapi kesakitannya.

Keenan merasakan tubuhnya sudah lemas bukan main. Ia membuka matanya menatap Ferdi yang masih setia di sampingnya dan tidak melepaskan genggamannya.

"om" lirih Keenan.

"kenapa?" tanya Ferdi.

Mendadak Ferdi khawatir melihat deru nafas Keenan yang pendek dan berat. Apalagi Keenan tidak kunjung menjawab pertanyaannya.

"dek?"

"ga...bh...bisa na...pas"

"dokter!"

Ferdi berlari keluar ruangan memanggil siapapun yang berjaga. Beruntung ada Vanya dan tiga perawat jaga. Vanya bergegas masuk ruang kemo bersama Ferdi dan dua perawat lain.

"Keenan?!" Pekik Vanya. "stop infusnya!"

Dengan cekatan perawat itu menghentikan laju infus Keenan. Vanya sibuk memeriksa keadaan Keenan. Ferdi hanya diam dengan kecemasannya. Ia dokter, Ferdi tidak bodoh untuk mengetahui situasi ini. Namun ini bukan kewenangannya.

Bahagia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang