Empat Puluh Dua

1.2K 138 17
                                    

Keenan memijat pelipisnya sesekali. Ia masih duduk manis di meja belajar mengerjakan latihan soal. Tak terhitung banyak tisu yang ia gunakan karena mimisan. Namun sejak tadi ia tidak mengeluh hingga memanggil orangtuanya. Setidaknya Keenan pikir ia masih kuat.

"Kurang tiga soal. Ujian terakhir besok. Semangat Keenan" gumam Keenan menyemati dirinya sendiri.

Tok tok tok

Keenan terpenjat. Buru-buru memberihkan beberapa tisu di meja, bahkan menyembunyikan tong sampah kecil ke lemari yang kosong.

"Dek?" Panggil Feri dari luar.

"Bentar, pa" sahut Keenan.

Sebelum ia membuka pintu, ia pastikan dulu tidak ada yang mencurigakan di kamarnya. Keenan menghela nafas dan mengumbar senyum meski rona pucat menunjukkan kesakitan sangat kontras dengan gimik yang ia buat.

"Apa pa?" Tanya Keenan begitu membuka pintu.

"Ngapain kamu?"

"Aku belajar"

"Udah stop belajarnya. Istirahat sekarang" pinta Feri.

"Kurang tiga soal, nanggung. Selesai nanti juga langsung tidur" balas Keenan.

Keenan tak menghiraukan Feri lagi dan kembali mengerjakan tiga soal yang tertunda. Ia tak menunjukkan gelagat sakit atau apapun itu. Namun insting Feri sebagai ayah juga cukup kuat.

"Kalau sakit bilang, jangan ditahan" ucap Feri membuat Keenan terdiam. "Papa nggak mau sampai telat penanganan buat kamu. Papa nahan pusing karena demam aja udah kualahan, apalagi kamu yang sakitnya berkali kali lipat"

"Aku mana bisa bohong sama papa, mama atau kakak" kata Keenan. "Tapi sekarang aku baik-baik aja. Papa gak capek khawatir terus?"

"Kalau gak mau papa khawatir, kamu nurut" balas Feri yang begitu gemas dengan Keenan.

"Udah ah, ini gak selesai aku ngerjainnya. Papa ngomel terus ih, mama aja akhir akhir ini gak pernah ngomel" protes Keenan membuat Feri tersenyum gemas.

"Ya udah iya, papa keluar. Habis ini langsung tidur"

Feri mencium singkat pucuk kepala Keenan. Lalu keluar dan menutup pintu. Membiarkan si bungsu asik dengan dunianya.

Setelah memastikan Feri keluar, Keenan mengunci pintu. Ia membungkam mulutnya sendiri untuk meredam tangisnya. Rasanya Keenan tidak sanggup menahan rasa sedih dan bersalah pada keluarganya.

Kalau gak mau papa khawatir, kamu nurut

Kalimat itu seakan membuat Keenan begitu menyadari kesulitan yang dialami keluarganya. Ia sadar bahwa ia bukan anak yang penurut, Keenan keras kepala tentu saja. Dan malam ini Keenan menyesali semuanya. Tangis Keenan semakin kuat. Ia berusaha meredam agar suara tangisnya tidak terdengar. Biarlah ia menjadi sangat cengeng untuk malam ini.

***

Tidak ada kecanggungan dari dua perempuan yang saat ini tengah duduk menikmati minuman masing-masing. Meski tidak canggung, namun keduanya belum berucap sedikitpun. Tak ingin berlama-lama, satu dari mereka mulai membuka suara.

"Jadi, apa yang ingin dokter Megan tanyakan?" Intrupsi Vanya.

"Saya... sebenernya saya cuma pengen denger kabar Keenan dari dokternya langsung" kata Megan.

"Hanya itu? Kamu yakin tidak ingin membicarakan yang lain? Jika saya bisa menjawab pertanyaan kamu yang lain, itu bukan masalah"

"Nggak. Saya emang pengen tau kabar Keenan. Tentang penyakitnya... hubungan saya dan Keyvan sudah membaik. Tapi rasanya tidak seleluasa dulu untuk mengulik keluarganya, meski itu hanya tentang adiknya"

Bahagia (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang