Setelah pagi itu, Keenan benar-benar enggan membuka matanya. Seperti ia ingin istirahat sedikit lebih lama melepas penatnya. Dokter tidak bisa banyak berjanji selain meminta keluarga terus berdoa agar Keenan diberikan keajaiban. Ya, Keenan terbaring dalam keadaan koma. Berbagai alat medis yang menunjang hidupnya melekat dengan tidak manusiawinya.
Ventilator yang masuk ke mulutnya, berbagai selang infus, kabel warna-warni di dada, dan bunyi elektrokardigraf menciptakan suasana mencekam tiap kali seseorang diijinkan masuk ke ruangan itu.
Sejak Keenan dinyatakan koma, teman-teman Keenan belum pernah datang ke rumah sakit walau sekadar menjenguk Keenan dari balik jendela. Mereka serasa dalam tahap denial, tidak bisa menerima keadaan Keenan yang sekarang. Termasuk Rere, gadis itu juga belum datang untuk menjenguk. Hanya Andre yang beberapa kali datang, satu saat juga ia datang bersama Vano. Yang terjadi justru Vano tidak tega melihat Keenan hanya terbaring tidak berdaya.
"Kamu gak pingin jenguk Keenan?" Tanya Andre langsung pada poinnya.
Rere yang saat ini sedang memasang lukisan untuk acara charity di sekolah menghentikan gerakannya.
"Datang dan lihat dia tersiksa? Nggak kak. Bukan itu yang aku ingin" kata Rere.
"Kalo gitu doain yang terbaik untuk dia. Biarkan semua terjadi sebagaimana mestinya"
"Maksud kak Andre apa? Relain Keenan pergi?"
Rere sedikit tidak terima atau justru dia tidak paham dengan apa yang Andre maksud. Andre menghela nafas, ia tau ini akan sulit.
"Buat Rere ngerti"
Kalimat itu terngiang di kepala Andre. Ia sempat mengobrol dengan Keenan hanya untuk membahas Rere. Salah satu yang Keenan inginkan dari Andre adalah membuat Rere mengerti dengan keadaannya.
"Re, mencintai seseorang bukan untuk memaksa agar tetap singgah. Mencintai juga pengorbanan, merelakan, demi kebahagiaan orang yang kita cinta. Berpikir realistis, Re. Dokter bilang kecil kemungkinan Keenan bisa kembali sehat. Yang bisa kita lakukan adalah doa yang terbaik untuk dia. Kalo Tuhan ngasih dia sembuh, itu adalah hadiah luar biasa untuk kita semua. Tapi jika Tuhan punya rencana lain, itu juga yang terbaik. Kamu gak mau kan terus liat Keenan kesiksa kayak gitu?"
Andre beranjak tanpa menunggu Rere membalas apa yang dia katakan. Ia membiarkan Rere berpikir. Karena pada dasarnya ia juga sama seperti yang lainnya. Andre juga denial. Tapi ia terus mencoba memahami situasi. Ia terus merangkul kawan-kawan Keenan sesuai yang Keenan inginkan. Andre juga memberi pengertian pada Vano karena akhir-akhir ini Andre selalu ada untuk Dirga.
"Gue paham. Lo gak perlu jelasin ke gue. Gue bukan Vano yang dulu kak. Lo emang yang terbaik dari yang terbaik"
Jawaban Vano membuat Andre kuat dan percaya diri ia mampu menjadi sandaran untuk semuanya. Juga Andre merasa beruntung memilik Vano, satu-satunya orang yang mendengarkan keluh kesahnya saat ini. Tak banyak yang Vano katakan tapi dia menjadi pendengar yang baik.
***
Sore ini Uti dan Inar yang masuk ke ruangan untuk melihat keadaan Keenan. Memang hanya beberapa jam sekali keluarga pasien diijinkan untuk masuk karena saat ini Keenan berada di ruang ICU.
"Menurutmu apa yang harus kita lakukan?" Tanya uti sembari menatap sang cucu yang belum kunjung membuka mata.
"Maksud ibu?" Balas Inar.
"Lihat Keenan seperti ini, apa yang harusnya kita lakukan?"
"Bu, ikhlaskan semuanya"
Air mata uti menetes mendengar ucapan Inar. Menyadari bahwa hatinya belum ikhlas jika sampai kemungkinan terburuk itu terjadi.
"Orang tua mana yang tidak sedih dan terluka jika harus pisah sama anaknya, tapi orang tua juga sakit liat anaknya seperti ini" ujar Inar. "Bu, Keenan masih bertahan sejauh ini karena masih banyak yang menginginkan dia kembali kesini"
Uti semakin terisak. Wanita tua itu lantas menciumi kening Keenan dengan terus bergumam
"Lepaskan sayang, uti tau ini sakit. Keenan hebat sudah berjuang hingga detik ini"
Pun juga Inar yang ikut menangis mendengar ibu mertuanya bicara pada Keenan. Uti tidak sanggup menahan tangisannya yang mungkin semakin menjadi, akhirnya diputuskan untuk keluar. Tinggal Inar yang masih setia di samping keponakannya. Inar membelai surai hitam Keenan yang tak lagi bersinar. Menatap Nanar wajah tampan Keenan yang penuh dengan alat medis.
"Sayang, setidaknya bangun sebentar. Tante tau Keenan capek. Keenan boleh lepasin semuanya kalo itu yang buat Keenan nyaman dan bahagia. Keenan dengar tante kan?"
Di lain tempat Keyvan selesai dengan pekerjaannya setelah dua jadwal operasi. Vanya melihat Keyvan dari jauh sedang berbincang dengan pasien. Vanya hampir tidak lagi pernah melihat Keyvan di kantin rumah sakit. Biasanya dokter tampan itu tidak pernah absen ke kantin untuk menjaga kondisinya agar tetap bugar. Namun tidak untuk saat ini.
Vanya bisa melihat suatu obsesi dan ambisi yang besar dari Keyvan. Obsesi dan ambisi untuk terus bekerja. Bahkan mungkin sepulang kerja Keyvan hanya membersihkan diri di rumah lalu kembali ke rumah sakit untuk menemani Keenan di luar ICU.
"Dokter, sudah sore. Saya belum lihat kamu makan" kata Vanya.
"Saya nggak lapar. Kamu ada perlu?" Tanya Keyvan.
Karena saat ini mereka ada di ruang praktek Keyvan. Vanya menghela nafas, ternyata jika dibandingkan Keyvan lebih keras kepala daripada Keenan.
"Kamu terlalu memforsir tubuh kamu. Kalau seandainya Keenan bangun pun dia gak akan suka kamu begini" ujar Vanya.
Keyvan menghentikan pergerakannya yang tadi merapikan berkas laporan pasien. Lelaki itu menatap Vanya tanpa asa.
"Apa yang bisa saya lakukan? Adik saya sekarat saya gak bisa berbuat apapun. Saya bisa menyembuhkan orang lain tapi kenapa tidak untuk adik saya? Lihat Keenan seperti itu hati saya sakit, Dokter Vanya. Ini bukan kali pertama saya lihat Keenan begini. Dulu dia sudah seperti bahkan saat dia masih kecil. Kamu gak akan paham dengan apa yang saya dan keluarga rasakan"
"Pertama, saya memang bukan kamu atau keluarga kamu. Saya gak ngerasain apa yang kalian rasain. Kedua, saya dan papa saya juga berjuang. Dokter Ferdi juga berjuang, bahkan Keenan pun berjuang untuk bertahan sejauh ini. Dan yang terakhir, bukan kita yang menyembuhkan pasien. Tapi Tuhan, melalui tangan kita. Kita berusaha dok, tapi semua keputusan bukan ada pada kita. Saya kira kamu lebih mengerti itu dibanding saya"
"Lalu kamu ingin saya bagaimana? Membiarkan Keenan pergi?"
"Kamu pikir saya juga rela pasien saya pergi? Tidak. Tapi kita gak bisa berbuat lebih untuk sekarang selain pasrah. Keadaan adik kamu ada di antara hidup dan mati"
Keyvan mengusap wajahnya kasar. Kentara sekali ia sedang frustasi dengan semua yang terjadi. Ingin mengadu dan menangis tapi semua seakan tertahan dalam benaknya hingga sulit untuk diungkapkan. Keyvan merasa sebelah pundaknya diremas pelan.
"Saya sudah anggap kamu teman saya, bukan sebatas rekan kerja. Saya juga gak bisa lihat kamu tersiksa sendirian. Saya tau kamu paham apa yang saya katakan, tapi untuk saat ini kamu belum bisa menerima semuanya. Karena kamu adalah kakak Keenan. Kakak mana yang rela adiknya pergi, gak ada dok"
*
*
*Tbc
Puasa masih aman?