A Midnight Conversation

859 130 16
                                    

Malam yang panjang.

Bangunan megah dari baja dan kaca menjulang tinggi di beberapa titik kota Hamburg. Restoran itu seharusnya sudah tutup satu jam lalu namun pria yang duduk di birai jendela itu punya lebih dari cukup uang untuk menyewanya setelah jam tutup secara privasi.

Jalanan terbentang di bawah tumpukan salju tebal, kota Hamburg berkilauan dalam aneka warna hiasan natal. Betapa pun indahnya semua pemandangan itu tampaknya, pria yang menyandarkan bahunya pada kaca jendela, tidak terkesan sama sekali.

Pandangannya terarah hampa ke bawah sana, satu kakinya menggantung di birai sementara yang lain menyentuh lantai keramik terakota yang dingin. Dia telah menunggu cukup lama di sana, duduk termenung dalam posisi yang sama. Hanya kedua bahunya yang bergerak dan dada bidang yang mengembang kempis membuktikan dia masih hidup.

Seseorang mengetuk pintu. Itu Floch Forster, salah satu pekerjanya yang paling setia, "saya sudah membawanya sesuai perintah."

"Biarkan dia masuk," ucapnya tanpa berpaling ketika pintu berderit menandakan seseorang baru saja masuk, "tinggalkan kami, Floch."

Pintu berdebam pelan, dia bisa mendengar hentakan lembut tumit sepatu pada lantai secara berirama yang menghampirinya di tengah keheningan. Eren Jaeger tersenyum tipis, sangat samar sampai tidak kentara sama sekali.

"Kau datang, Sayang."

Orang itu adalah Levi. Bagian bawah gaun biru gelapnya yang mengembang berayun-ayun di atas lutut setiap kali dia bergerak semakin dekat menuju kekasihnya. Eren melompat turun ke lantai, menyambutnya dengan kedua lengan terentang. Tanpa ragu, Levi langsung menghambur ke dalam pelukannya, menumpahkan seluruh kerinduan pada sang Alpha Coordinate.

Eren membenamkan wajah di ceruk lehernya. Gaun bermodel sleeveless itu memamerkan bahu dan lengan pucat bersemu merah, "mengapa tidak memakai mantel?"

"Kalau memakai mantel, aku tidak akan membutuhkanmu di sini," Levi memejamkan mata, menghirup dalam-dalam aroma tubuh Eren yang jantan dengan rakus.

Untuk sebentar saja Levi ingin membuang semua masalah yang menumpuk akhir-akhir ini, melupakan segala kecemasan yang meresahkan ke dalam laci pikirannya lalu menguncinya serapat mungkin. Dia ingin mengambil kembali waktu bersama Eren-nya sampai puas dengan harapan bisa membawanya kembali ke keluarga.

"Eren ..." Jemari lentiknya terulur menyusuri garis rahang Eren yang kokoh. Sentuhan halus ujung jarinya memberi sensasi menyengat bagai aliran listrik di kulit Eren, sengaja menggodanya, mengantarkan percikan api gairah yang ditahan-tahan sejak percintaan mereka di kabin malam itu, bercampur dengan kerinduan selama beberapa hari terpisah lagi.

"Apa yang coba kaulakukan, Sayang?" Eren menegurnya.

Keningnya berkerut, menilai dengan diam, suara Eren terdengar lebih berat dan serak. Matanya memindai keseluruhan wajah Eren. Dia baru sadar betapa letihnya wajah itu. Bayangan gelap di bawah matanya, redupnya sorot mata zamrud, dan bekas luka yang walau samar namun terlihat dalam jarak dekat di kulit yang menutupi tulang pipinya. Tersusun dari sayatan-sayatan tipis yang meliuk dan memanjang ke bawah, mereka berjajar di bawah mata sampai hampir mendekati pelipis.

Dalam hati, Levi bertanya-tanya dari mana asalnya bekas luka itu, lalu dia mengerjap sekali lantas membawa bibirnya ke bibir Eren yang hangat namun kaku dibanding sebelumnya. Tidak biasanya, Eren selalu bersemangat dalam hal ini tapi ... ada apa dengannya?

"Aku tidak mengerti," ujar Levi sambil menatap lantai lalu ke luar jendela, "ada apa sebenarnya?"

Levi menghampiri jendela, meletakan ujung jarinya di sana. Permukaannya bersih dari debu sehingga dia bisa melihat pantulan dirinya sendiri juga Eren yang berdiri di belakangnya. Ada yang berbeda dengan Eren-nya, namun dia tidak tahu apa yang telah berubah itu.

Dia telah meninggalkan anak-anaknya yang terlelap di rumah Jaeger yang nyaman. Berbohong bahwa dia akan menginap di rumah Hange demi memenuhi undangan Eren untuk bertemu melalui remaja bernama Floch itu. Sejenak Levi merasa tidak yakin mengapa dia berada di sini. Apakah hanya sebatas berbicara ataukah akan ada hal lain yang bisa dilakukan mereka?

Setidaknya aku sudah menitipkan hadiah natal pada Erwin.

Tangannya yang gemetar menekan birai, punggungnya melengkung sehingga kening yang tertutup helaian tipis rambutnya menempel di kaca jendela. Salju turun semakin lebat di luar sana bagaikan parade malaikat berjatuhan dari langit. Levi berdesis bimbang, mengapa mereka harus dihadapkan pada pilihan yang sulit seperti ini?

"Bukan sesuatu yang perlu kau mengerti, Sayang," Eren bergumam muram. Mata hijaunya menggelap.

Bunyi derap langkah kakinya terdengar dan berhenti di belakangnya. Pinggiran jaket panjang hitamnya melambai-lambai di atas lapisan kaus kelabu ketika bergerak lalu merengkuh tubuh mungil itu. Rambut coklatnya terikat kasual di belakang kepala, beberapa helainya jatuh di depan mata dan menyatu dengan rambut hitam Levi yang telah mencapai bahu. Mengendus aroma tubuh dan feromon Levi yang begitu memabukan dengan mata terpejam.

"Bagaimana dengan anak-anak, semua baik-baik saja?"

Pinggang Levi berada dalam lingkaran lengannya, Eren tidak ingin melepaskannya tetapi demi menciptakan dunia yang damai untuk Levi dan anak-anaknya, dia rela mati karena mengerahkan seluruh kekuatan yang akan dibangkitkannya. Setidaknya untuk saat ini saja, sekali lagi dia hampir kehilangan kendali, Eren ingin bertahan di sisinya dan menikmati sisa-sisa waktu yang tersisa.

Mau bagaimana pun kita berusaha, tak akan ada yang tahu seperti apa akhirnya.

Levi menggeleng lemah, "tidak ada yang baik, Eren, mari kita pulang," dengan satu tangan, Levi mengusap sisi wajah Eren penuh cinta dan permohonan, "anak-anak merindukanmu, bahkan Rivaille sampai demam karena memikirkanmu."

Seluruh otot tubuhnya menegang kaku, tersentak dengan kabar buruk mengenai putra kecilnya. Teringat bagaimana Rivaille sangat bergantung dan selalu melekat padanya. Pelukannya mengerat di tubuh Levi saat dia melanjutkan kalimatnya.

"Ren tidak sanggup melihat adiknya kesakitan, begitu juga aku ..." Levi melirih.

Eren memejamkan mata rapat-rapat. Keinginan untuk pulang dan melihat keadaan anak-anaknya bergulat dengan rencana masa depan yang telah disiapkannya. Eren sangat merindukan mereka tetapi jika dia sampai melakukannya, dia ragu akan tetap bisa bergerak maju dan memuluskan rencananya.

"Apa pun yang kulakukan adalah demi kalian agar bisa hidup dengan tenang," Eren merapatkan bibirnya sepipih pisau, menyadari getaran dalam suaranya, "kau hanya perlu tahu itu."

Tiba-tiba sesuatu menyengat indera penciumannya tak lama setelah perkataan terakhirnya, bersamaan dengan tubuh Levi yang mendadak gemetar di dalam kungkungannya.

Aroma manis itu, selalu bisa membuainya. Mendorongnya untuk mencetak jejak-jejak kepemilikan di tengkuknya tetapi Eren lebih memilih melawan hasratnya sendiri. Sangat menyulitkan ketika gairah membakarnya hingga bagian lain di tubuhnya mengeras dan menuntut dilesakan ke tempat yang panas berdenyut di dalam tubuh Levi.

***

Hello, all my Dear Reader! Sorry for hanging cliff, Honey!

Jangan lupa untuk menabur bintang dan komentar setiap usai membaca!

See y'all next chapter ♡\(^-^)/♡

Jepara, 28 Maret 2021
With love,

中原志季
Nakahara Shiki

The Coordinate : Perfect Sword and ShieldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang