Ini sudah dua minggu sejak mereka bertemu Erwin terakhir kali dan sudah satu jam semenjak salju semakin lebat menghujani kota kecil Rudesheim am Rhein, sementara kedua bocah Ackerman itu masih berkeliaran di jalanan yang dilapisi salju tebal. Ren mengawasi Rivaille yang mulai menggigil kedinginan meskipun tudung mantelnya telah membungkus hingga sekeliling wajahnya.
Bocah berambut coklat itu lekas merengkuh adiknya, memberinya kehangatan agar tidak membeku. Dalam hati dia merutuki dirinya yang begitu mudah diluluhkan oleh sifat keras kepala bocah berkulit pucat itu. Sekarang dia menyaksikan akibatnya. Mereka bisa mati membeku sewaktu-waktu dengan kondisi seperti ini.
Padahal, lebih dari enam jam yang lalu mereka sedang berdiri di dekat jendela mengamati kepergian ibu mereka yang hendak bekerja. Seharusnya mereka sedang asyik menikmati hangatnya tungku perapian sambil minum coklat hangat bersama ibu mereka saat ini. Duduk dalam pelukannya yang nyaman mendengarkan cerita dongeng yang dituturkan bibir yang selalu memberi mereka kecupan penuh kasih.
Tetapi sekarang mereka harus berjuang agar bertahan hidup di jalanan kota yang sepi dan dingin ini. Rasanya Ren ingin menangis namun janjinya pada sang Papa langsung menghantam kesadarannya agar tidak meneteskan setitik pun air mata. Ya, ini bukan waktunya untuk merengek seperti bayi.
Aku harus menjaga Rivaille, apa pun yang terjadi!
"Kita cari tempat beristirahat dulu, ayo," kata Ren lalu memindai sekeliling mencari tempat untuk duduk.
Mereka sudah berjalan cukup jauh dari rumah. Setapak demi setapak mereka lalui demi mencari jalan menuju pria yang disebut papa. Matahari telah meninggalkan cakrawala dua jam yang lalu, musim dingin di sini lebih menyengat daripada di Hamburg sehingga banyak toko yang tutup karena orang-orang enggan menjejakkan kaki ke luar rumah.
"Tidakkah sebaiknya kita pulang saja, Rivaille?" Ren menuntun adiknya duduk di undakan sebuah restoran tua yang masih buka namun sepi pengunjung. Dia menarik sesuatu dari dalam ranselnya, dua potong roti selai coklat masing-masing untuk dirinya dan Rivaille.
"Kukira ini akan seperti saat kita bermain penjelajahan di sekolah," Ren menggigit ujung roti dan mengunyah dengan tekun, "sepertinya ini lebih sulit dari itu."
Sementara Ren terus mengoceh, Rivaille sibuk menggigit, mengunyah, lalu menelan rotinya. Tak peduli jika kakaknya ingin pulang, dia akan tetap mencari sang Papa. Dia akan beristirahat jika lelah, dia akan bertanya jika tidak tahu arah, dia akan makan jika lapar dan minum jika haus.
Tetapi bagaimana jika bekalnya habis? Pikirannya buntu. Bibir mungilnya langsung melengkung seperti kapal terbalik begitu sampai pada pemikiran itu. Dia tidak bisa bekerja karena usianya. Selain itu, tentu saja dia membutuhkan benda bernama uang agar bisa kembali ke Hamburg.
Seandainya mereka pulang dan meminta pada Levi untuk bertemu Eren, apakah Levi akan mengiyakan dan membawa mereka kembali? Mengingat saat terakhir kali mereka melihat sang Mama bertemu orang itu saja sudah cukup menjawab pertanyaan itu. Mustahil.
"Rivaille, menurutmu siapa Papa sebenarnya?"
Mata Rivaille menerawang pada butiran salju yang berjatuhan. Terkadang dia juga bertanya-tanya tentang hal itu. Pria yang pertama kali dikenalnya bernama Eren Krueger itu sangat menyayangi mereka, bahkan rasanya mereka begitu dekat dengannya. Seakan mereka saling mengenal. Lalu hari itu, Levi memanggilnya Jaeger. Yang mana nama aslinya?
Papa itu siapa?
Mereka tak pernah mengenal siapa ayah kandung mereka karena Levi tidak pernah menceritakan tentangnya. Levi juga tidak menyukai Krueger, atau Jaeger. Orang yang sangat menyayangi mereka selayaknya seorang ayah. Mengapa?
Mungkinkah?
Rivaille mengerjap setelah larut dalam pemikirannya sendiri tentang pria bernama Krueger. Sama sekali tidak menyadari bahwa Ren juga memikirkan hal yang sama. Lalu serentak mereka saling memandang satu sama lain dengan mata yang sama berbinarnya. "Papa!"
"Oi, oi, siapa bocah-bocah ini?"
Mereka tersentak tiba-tiba oleh sebuah suara serak di belakang mereka. Rivaille merapatkan tubuhnya yang langsung gemetar pada sang kakak, sedangkan Ren pun menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang berbicara. Dadanya berdebar.
Pria tua bertopi koboi itu benar-benar menyeramkan! Tubuhnya yang jangkung dan kurus terbungkus rapat dalam mantel hitam legam yang kian menonjolkan kesan seorang penjahat paling kejam dan ditakuti. Lalu wajahnya yang dihiasi garis-garis penuaan menampilkan ekspresi garang. Itu pasti akan membuat anak-anak mana pun lari terbirit-birit melihatnya.
"Bukankah kau bilang mau pergi, mengapa masih di sini?"
Muncul lagi seorang pria tua dari dalam restoran. Bedanya, pria itu memiliki tatapan yang lebih hangat dan penuh kasih.
"Uri, aku tidak tahu kau mulai membuka tempat penampungan anak terlantar," kata pria bertopi koboi disertai cengiran yang sangat menyebalkan di mata Ren.
Orang yang dipanggil Uri berjongkok di dekat mereka kemudian menyentuhkan tangannya di punggung Rivaille, sedikit meredakan gemetarnya. "Jangan bicara begitu, Kenny. Anak-anak yang malang, apa yang dilakukan mereka saat cuaca dingin seperti ini?"
"Tampaknya bocah yang satu itu ketakutan, apa dia takut melihatku?" Kenny berseloroh.
"Cukup, Kenny," titah Uri, nada bicaranya memberi perintah mutlak meskipun suaranya sama tenangnya dengan semilir angin, lalu dia kembali pada Ren yang masih menatap mereka waspada. "Masuklah, kalian akan kedinginan di sini."
Ren terhenyak mendengar ajakan Uri. Kewaspadaannya terhadap Uri turun drastis, namun menajam sewaktu menatap Kenny. "S-sungguh?"
Uri mengangguk, tersenyum ramah. "Ayo."
Bocah itu menepuk bahu Rivaille lalu membantunya berdiri. Rivaille sama sekali tidak mau mengangkat wajahnya, terus menunduk dan selalu menempel pada Ren ketika mereka mengikuti Uri masuk ke dalam. Di belakang mereka ada Kenny yang berjalan membuntuti tanpa melepaskan pandangan dari kedua bocah itu.
Hanya ada sedikit orang di ruangan itu. Uri membawa mereka ke salah satu meja kosong tidak jauh dari konter dan menyuruh mereka menunggu. Tidak lama kemudian, pria itu kembali dengan membawa nampan berisi minuman dan makanan hangat untuk mereka. "Makanlah, kita bicara setelah kalian selesai."
Mereka berdua makan dengan lahap, terutama Rivaille yang akhirnya selesai lebih cepat dari Ren. Melihat caranya makan seperti itu justru semakin membuat Kenny tertarik memperhatikan bocah bertubuh mungil itu. Keningnya tidak pernah melemas setiap kali dia melihat ke arah Rivaille. Terasa seperti ada sesuatu yang familiar.
"Ada yang salah dengan adikku?"
"Hei, bicaralah yang sopan, Bocah!"
"Seharusnya kau mengajari caranya bicara sopan alih-alih menyuruhnya, Kenny," timpal Uri, "namaku Uri Reiss dan pak tua ini Kenny, kalian?"
Ren meneguk minumannya hingga tandas sebelum menjawab, "Ren Ackerman, dan dia adikku, Rivaille."
"Apa?" Kenny yang baru menenggak kopinya langsung tersedak hingga terbatuk-batuk.
Uri juga terkejut mendengar nama mereka. "Ackerman?"
"Ya."
Kenny dan Uri pun saling berpandangan dengan raut bingung. "Kenny?"
***
Jangan lupa dukung fanfiksi ini dengan vote and comment setiap usai membaca. Thanks, dear!
Jepara, 8 Februari 2021
With love,中原志季
Nakahara ShikiEdited : Jepara, 2 Agustus 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
The Coordinate : Perfect Sword and Shield
De Todo[Fanfiction of Shingeki no Kyojin by Isayama Hajime. Mainship : Eren Jaeger x Levi Ackerman] Start : January 26th, 2021 End : April 6th, 2021 Alpha dan Omega Sempurna diturunkan sebagai pengendali konflik antarras di dunia. Mereka diberkati anugerah...