"Kau masih marah?"
Kenny menyandarkan bahunya di ambang pintu, menatap punggung Uri di depannya yang bersiap untuk pergi dengan tidak fokus. "Aku tidak marah."
"Demi Tuhan, Kenny!" Uri memutar badan menghadap Kenny yang benar-benar menderita sejak beberapa menit lalu. "Apa kau marah karena aku memintamu mengurus mereka?"
"Sudah kubilang tidak!" Kenny membantah.
"Lalu?"
Tidak ada jawaban. Kenny membungkam mulutnya dengan mengisap rokok yang terselip di antara bibirnya. "Pergi dan urus saja kakakmu yang merepotkan itu."
"Aku tidak pernah melihatmu terpukul seperti ini, kau tahu?"
Kenny mengembuskan asap rokok dari mulutnya dan menatap Uri yang belum beranjak dari tempatnya berdiri. Uri adalah orang yang terdekatnya, dia sudah sangat mengenalnya setelah berteman selama bertahun-tahun. Tidak heran jika Uri selalu bisa mengendus hal-hal yang tidak beres pada Kenny.
"Bukan apa-apa, pergilah sebelum salju semakin lebat."
"Kau yakin?" Anggukan singkat menjadi jawaban. Uri Reiss lantas menaikan tudung mantelnya dan menatapnya tanpa emosi, sebelum kakinya bergerak menuruni anak tangga. "Sampai jumpa."
Kenny Ackerman menghela napas berbau tembakau yang terbakar sambil mengamati punggung Uri yang semakin mengecil di tengah salju-salju yang berjatuhan. Mengapa aku berdusta? Pria tua itu mulai merenungi dirinya yang berbohong bahwa dia tidak mengenal nama Levi Ackerman. Marga yang sama tidak menjamin setiap orang yang menyandangnya saling mengenal.
Namun kenyataannya dia memang mengenal Levi, sangat mengenalnya. Itulah satu-satunya hal yang dirahasiakan Kenny dari Uri atau pun orang-orang yang mengenalnya. Mengapa kau memintaku menjaga mereka, Uri? Pikiran lain turut berkecamuk di kepalanya. Otaknya kini bagai diperah sampai berdarah-darah, mencari sebuah jawaban atas semua pertanyaan itu. Mengapa adalah satu kata yang menjadi benang merah atas segalanya.
Kenny menghabiskan batang rokoknya sebelum berbalik masuk ke dalam ruangan. Apa dia begitu larut dalam lamunannya sehingga tidak menyadari pengunjung yang semula duduk di sana telah pergi? Hanya ada Carven dan beberapa pegawai lain yang sedang membereskan meja-meja kecuali satu.
"Jangan dibangunkan!" tegurnya sebelum Carven sempat menyentuh bahu kecil itu, "biarkan saja."
Ren dan Rivaille tertidur pulas dengan berbantal lengan yang terlipat di atas meja. Kenny melepaskan mantelnya, membentangkan benda itu di atas punggung mereka dengan hati-hati. Dalam jarak dekat dia bisa mendengar dengkuran halus bocah-bocah itu. Mengapa aku harus bertemu kalian? Sekali lagi Kenny terpelosok ke dalam pertanyaan yang diawali kata mengapa.
Dia tengah berada di ujung tanduk rasa penasaran akan semua yang telah terjadi. Alasan mengapa dia hidup dengan cara seperti ini dan mengapa dia mengambil keputusan itu. Segalanya tampak membingungkan.
"Apakah Anda mengenal mereka, Tuan?" Carven bertanya, "saya dengar mereka bernama Ackerman."
"Entahlah, hanya segelintir orang yang menyandang nama itu." Kenny menyadari suaranya yang tak lebih dari bisikan serak dan putus asa. "Aku tidak tahu jika ada Ackerman lain yang masih hidup."
Carven mendengarkan lalu berkomentar, "Anda terlihat sangat dekat dengan mereka, walaupun tidak begitu akrab dengan si bocah bermata hijau."
Kenny terdiam, tentu saja Carven benar. Dia merasa begitu dekat dengan bocah-bocah itu dan hanya ada satu jawaban, namun Kenny tak ingin mengatakannya. "Bereskan saja sisa makanan mereka, aku yang akan mengurus bocah-bocah malang ini," ujarnya dan langsung dipatuhi Carven.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Coordinate : Perfect Sword and Shield
Aléatoire[Fanfiction of Shingeki no Kyojin by Isayama Hajime. Mainship : Eren Jaeger x Levi Ackerman] Start : January 26th, 2021 End : April 6th, 2021 Alpha dan Omega Sempurna diturunkan sebagai pengendali konflik antarras di dunia. Mereka diberkati anugerah...