A Sweetest Reunion

1.6K 242 55
                                    

"Levi."

Eren menyelinap masuk ke kamar ketika Levi sedang menyisir rambutnya yang sedikit memanjang. Di luar, cahaya bulan yang pucat cemerlang menerpa bayang-bayang legam pepohonan yang berjejer rapat seperti barikade pertahanan. Sejak kehadiran Eren, kamar itu terasa lebih hangat. Levi tak menyadari pasangannya mendekat dengan jemarinya yang sehangat sinar matahari membelai tengkuknya, mengusap seberkas bagian kulit pucatnya yang memiliki titik-titik air sehabis mandi.

"Kau selalu selembut ini." Lengan-lengan Eren langsung merengkuh tubuh Levi yang masih memunggunginya, membuat lelaki pendek itu menelan ludah dengan susah payah dan menarik napas lambat-lambat. Bibir Eren menyapu tengkuknya, tepat di bawah helaian halus rambutnya. Levi merasa kulitnya memanas. "Seharum ini."

"Jangan sekarang, Eren!" Levi mendapati suaranya pecah.

Eren mengernyit sekilas lalu kembali menyusuri leher Levi hingga ke pangkal bahu. "Memangnya mengapa?"

"A-aku tidak ingin didengar orang lain, apalagi anak-anak."

Eren terkekeh melihat wajah cantik itu memerah padam. Dia tertegun. Semakin lama garis wajah dan tubuh Levi semakin melembut. Sangat cantik dan memesona hingga dia tak sanggup mengalihkan pandangan dari sosok Levi. Keindahan yang sempurna ini hanya untuk dirinya, Levi adalah miliknya seorang. "Kenny punya kabin lain di dekat sungai, katanya kita boleh menempatinya," Eren menggunakan nada bicara yang sedikit merangsang dan persuasif, "kita bisa melakukannya di sana besok."

"Lalu bagaimana dengan anak-anak? Aku ragu mereka akan mau melepaskanku."

"Aku pastikan mereka yang mengalah nanti!" Eren sungguh percaya diri, mau tak mau itu membuat Levi tergelak mengejeknya sepuas hati.

"Tadi aku mendengarmu menelepon seseorang, siapa?" Levi mengeratkan pelukan Eren.

"Hanya orang kepercayaanku, besok mereka akan datang."

Levi mengangguk ringan. Dia mengedipkan mata pada pasangan di cermin. Sebagian besar konsentrasinya terpaku pada mereka. Reaksi pertama Levi adalah kagum. Pasangan asing di cermin itu sangatlah indah, bagaikan Eros dan Aphrodite di dalam legenda Yunani. Sang Alpha luar biasa tampan dengan rambut coklat gelap tergerai menaungi garis wajah yang tegas. Kemudian sepasang matanya serupa zamrud gelap, sarat akan rasa cinta yang posesif. Sedangkan Omega-nya, Levi hampir mengira dia wanita, begitu luwes saat berdiam diri. Kulitnya pucat namun bersemu kemerahan pada bagian wajah dalam bingkai rambut sehitam tinta nan halus. Kaki dan tangannya halus tetapi kuat, serta berkilauan bagaikan mutiara.

Berbeda dengan Alpha-nya, cahaya mata kelam itu lebih didominasi ketulusan yang murni. Mereka benar-benar kontras namun serasi dan saling melengkapi keindahan masing-masing. Lagi-lagi Levi menarik napas dalam sembari meresapi pelukan Eren yang masih setia melingkupinya. Levi merasa lebih aman berada dalam posisi mereka saat ini.

"Seharusnya aku ke sini untuk memanggilmu makan malam," kata Eren terdengar tak rela membuang momen ini barang sedetik saja, "tapi kau juga ingin bertemu anak-anak, 'kan?"

Levi mengusap lengan Eren seperti membujuknya supaya mencair. "Aku merindukan mereka."

"Daripada itu, Kenny dan Angel juga ingin berbicara denganmu," lanjut Eren menambahi.

Tiba-tiba Levi teringat sesuatu. "Aku tidak melihat Erwin di mana pun, di mana dia?"

Pria itu mendesah frustasi lantas menempelkan hidung di tengkuk Levi, aroma feromon Levi sangat ampuh menenangkannya dengan cepat. "Saat kau terserang demam lagi, dia hampir terpengaruh."

Levi beraksi terkejut namun dia tetap mendengarkan. "Setelah itu apa?"

"Erwin berlari keluar, lalu kami pergi saat para Alpha mulai mendatangi rumah Angel dan membuat keributan. Aku tidak tahu bagaimana keadaannya setelah itu."

Levi memejamkan mata cukup lama, ada sebersit rasa bersalah menggores hatinya. Seandainya Erwin tidak terlibat dalam masalahnya, mungkin saja lelaki itu sedang menikmati waktu di rumahnya yang nyaman. Aroma feromon Eren tiba-tiba menyapa penciumannya, memberi ketenangan yang sama sebagaimana feromon Levi sendiri mempengaruhi Alpha itu.

"Semoga dia baik-baik saja," gumamnya penuh harap.

"Yang lain sudah menunggu, Levi, sebaiknya kita segera bergabung."

Levi menatap Eren dan mengangguk. Kerinduannya pada kedua malaikat kecilnya semakin menggelegak. Dia tidak sabar untuk memeluk dan menciumi pipi-pipi tembam mereka. Campuran perasaan tegang sekaligus bersemangat membuatnya gugup. Eren melepaskan Levi dan merangkul bahunya lalu berbalik meninggalkan pasangan Alpha dan Omega rupawan dan aneh di cermin.

***

Setelah makan malam, Levi menghabiskan waktu hampir dua jam penuh di kamar anak-anak bersama Eren, Ren, dan Rivaille. Ketika mereka bertemu tadi, bocah-bocah itu sampai menangis tersedu-sedu dan enggan melepaskan diri dari dekapan hangat ibunya. Kini mereka telah benar-benar terlelap.

"Bagaimana perasaanmu, Levi?" tanya Eren yang sedang menidurkan Rivaille dalam gendongannya di dekat jendela yang tertutup.

"Sangat bahagia, mereka sudah mendapatkan kembali ayahnya." Levi merendahkan suaranya. "Eren, maafkan aku."

"Kau tidak perlu meminta maaf, aku yang salah karena meninggalkanmu dulu." Eren berputar menatap Levi dengan mata penuh harapan. "Levi, jika kau mengijinkan, aku ingin menikahimu begitu kita kembali ke Hamburg."

Tentu saja Levi tercengang mendengarnya. Jantungnya langsung berdentam kuat di dalam rongga dadanya. Tapi ada juga perasaan hangat yang menyelubungi hatinya tatkala Eren melamarnya meski tidak dalam suasana yang romantis. Dia memerah. "Aku ... bersedia, Eren," ucap Levi malu-malu, "aku ingin hidup bersamamu."

Pandangan mereka bertemu, sama-sama memancarkan binar cinta yang membludak tidak terbendung. Eren mengulas senyum tipisnya yang menawan, sehingga membuat degup jantung Levi bertambah cepat. "Terima kasih, Sayang."

Levi beringsut turun dari ranjang. Eren membaringkan Rivaille di sebelah Ren dengan hati-hati, lalu Levi menarik selimut sampai menutup ke dada mereka yang naik turun mengiringi dengkuran halus yang mengisi udara. Eren dan Levi mencium kening mereka bergantian, mencurahkan segenap kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya.

"Sudah waktunya, ayo."

Kenny dan Angel telah menunggu di ruang tamu, mereka sedang membahas sesuatu sampai Eren dan Levi duduk berdampingan di salah satu sofa kayu. "Katanya ada hal yang ingin kalian bicarakan?" Levi membuka percakapan.

Dia benci saat Eren tiba-tiba membisu dengan bahu yang tegang. Levi berusaha mengingat beberapa menit lalu ketika Eren melamarnya, itu sedikit menghangatkan hatinya yang menggigil. Dia benar-benar merasa seperti senar yang akan putus dalam suasana menegangkan serta canggung. Eren menyadari dan langsung menyusupkan lengan kokohnya di antara punggung Levi dan sofa, meliuk sempurna mengikuti lekuk pinggang Levi yang ramping.

Sementara Angel tampak mengeluarkan sesuatu lantas menyusurkan sebuah kotak kecil berukir di meja ke arah Levi. "Itu milik Anda, Yang Mulia."

Cara si pirang itu memanggil Levi membuat Eren ingin protes namun ditahan. Levi mengerut bingung dengan sebutan itu. Memangnya siapa dirinya sampai dipanggil dengan begitu takzim bagaikan ratu? "Tuan Aaltonen, aku rasa panggilan itu terlalu berlebihan untukku. Tolong panggil dengan namaku saja," protes Levi.

"Mohon maaf, tetapi sudah sepantasnya saya memanggil Anda seperti itu."

Levi ingin membantahnya, tetapi kotak kayu yang ada di tengah meja itu menarik seluruh perhatiannya. Alih-alih memperdebatkan cara Angel memanggilnya, Levi memilih meraih kotak itu dan membukanya. Betapa terkejutnya Levi menemukan seuntai kalung perak dengan liontin berbentuk mawar merekah yang bertatahkan paduan permata batu zamrud dan obsidian. Dia terpesona.

Sangat cantik ... menakjubkan.

***

Jangan lupa dukung fanfiksi ini dengan vote and comment setiap usai membaca. Thanks, dear!

Jepara, 1 Maret 2021
With love,

中原志季
Nakahara Shiki

Edited : Jepara, 3 Agustus 2021

The Coordinate : Perfect Sword and ShieldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang