21 - Mata ke Hati.

2K 220 13
                                    

Di balik tenangnya perilaku, ada keinginan untuk mengungkapkan sesuatu, tentang rasa, aku dan kamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di balik tenangnya perilaku, ada keinginan untuk mengungkapkan sesuatu, tentang rasa, aku dan kamu.
-Ghama Dewa Baskoro.

🦋

Matahari pagi mulai menampakkan dirinya. Menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Berdiri di pinggir jalan adalah hal yang paling tak aku sukai. Di mana aku diharuskan berhadapan dengan banyak orang yang berlalu lalang. Ciri-ciri orang yang tak suka jika diamati oleh banyak orang. Mengangkat tangan kiri, jam tangan yang aku kenakan mulai tampak. Aku berdecak, bahkan tak ada satu pun angkot yang lewat. Di saat aku benar-benar butuh, mengapa kendaraan umum itu selalu datang terlambat? Aish!

Aku benar-benar gelisah sekarang. Keadaan mulai berangsur sepi karena semua orang mulai menjalankan aktivitasnya. Hanya tinggal aku seorang diri yang masih berdiri di bawah teriknya matahari. Namun, motor yang berhenti di hadapanku membuat salah fokus. Dewa?

Tepat sekali. Dia dengan rambut yang menutupi dahi tengah menatapku dengan satu alis yang terangkat. Matanya menyipit. Mungkin terkena silaunya cahaya matahari. Aku berdehem. Ingin memulai percakapan pun rasanya malu sekali. Apalagi soal kejadian kemarin yang rasanya begitu awkward untukku.

"Mau berdiri di situ apa mau sekolah?" tanyanya santai. Sembari membenarkan rambutnya yang berantakan.

Menoleh ke kanan, lagi dan lagi aku tak menemukan apa yang aku cari. Berharap angkot segera menghampiri dan membawaku pergi. Dewa masih duduk anteng di tempatnya. Sesekali bersiul menggoda beberapa anak SMP yang lewat. Astaga, apakah dia tak ingat dia sudah ada Maula?

"Gue tinggal."

"Eh, tunggu dulu," ujarku sembari mencegah Dewa yang bersiap pergi.

Dia menaikkan satu alisnya. "Mau nggak?"

"I-iya."

Terlanjur kebingungan, aku segera naik. Tak mempedulikan bagaimana ke depannya nanti. Entah apa yang akan dipikirkan oleh Maula dan anak-anak jika tau aku berangkat bersama Dewa. Di saat Dewa sudah memiliki pacar, mengapa selalu ada keinginan untuk memiliki? Aku tersenyum di tengah ramainya kendaraan yang berlalu lalang. Ada rasa menggelitik yang hinggap. Entah apa itu.

"Kenapa senyum lo? Seneng gue barengin? Eh, tapi gue udah ada pacar. Sorry," ujar Dewa menyebalkan.

Aku mendengkus. Membuang pandang setelahnya. Lebih baik mengamati pohon-pohon yang ada di sepanjang jalan daripada melihat raut wajah Dewa yang menyebalkan dari spion. Astaga, mengapa jantungku rasanya begitu berdebar?

"Btw, lo tau dari mana kalau gue nggak suka sama susu rasa vanila?" tanya Dewa tiba-tiba.

"Tau aja. Lentera pernah lihat Kakak muntah pas minum itu. Jadi, Lentera bisa simpulkan kalau Kakak enggak suka. Simple, 'kan?" jawabku tenang. Mencoba menutupi apa yang aku tau. Jika aku selalu mengamati hal-hal kecil yang Dewa lakukan. Astaga, Lentera! Sejak kapan kamu jadi pengamat Dewa?

KAKAK KELAS [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang