Cover : Pinterest
📌 Konflik ringan.
📌 Quotes setiap part hanya untuk melengkapi.
📌 Minim amanat.
📌 Belum revisi, masih banyak kesalahan.
📌 DILARANG KERAS PLAGIAT!
Kesalahan kecil yang dilakukan Lentera, membawa gadis itu pada Dewa. Cowok yang t...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jika dia lebih senang bersamanya, mengapa tidak? –Kakak Kelas.
🦋
"Gue rencananya mau nembak Lentera besok, mau jadiin dia pacar gitu. Menurut kalian gimana?"
Dewa terkejut akan penuturan Taksa. Memilih tak peduli, dia kembali merokok. Sudah dua batang ia habiskan. Walaupun tak terlihat bahwa ia terkejut, tetapi mata tak pernah bisa berbohong. Bibirnya masih bisa terkatup, tetapi matanya bergerak gelisah. Mencari objek yang enak dipandang. Akan tetapi, Taksa terus saja mendesak agar Dewa mau menjawab pertanyaannya.
"Ck! Ya terserah lo lah, Sa. Ngapain minta pendapat gue? Lagian bagus juga lo kalau lo mau jadiin tuh bocah sebagai pacar lo, daripada nanti keburu diambil orang, 'kan?" balas Dewa akhirnya. Membuang puntung rokok yang telah dihisapnya setengah itu. Tak lagi minat untuk melanjutkan acara merokoknya.
"Lo kalah cepat," bisik Fajar pelan.
"Lentera siapa, sih? Cewek yang sering sama lo itu, Wa?" sahut Felix, membuat Dewa memutar bola matanya. Berbeda dengan Taksa yang menghela napasnya dalam-dalam.
"Ya."
"Gue kirain dia dekatnya sama lo, Wa. Eh, sama Taksa ternyata. Emang bener, ya. Yang terbiasa belum tentu bisa bikin nyaman. Good luck lah, Sa! Semoga diterima di sisinya," tutur Felix membuat cowok itu mendapatkan satu tamparan keras dari Taksa.
Mereka tertawa kompak. Kecuali Dewa tentunya. Tak ada senyum ramah yang biasa ia layangkan ketika sedang berkumpul seperti ini. Pikirannya hanya dipenuhi oleh bayang-bayang Lentera. Ketika Lentera tertawa, tersenyum, gugup, marah-marah tak jelas, kala menatapnya polos, dan ketika pipi gadis itu memerah.
Emang bener, ya, Ra. Jangan terlalu banyak tertawa. Nanti seriusnya dianggap bercanda. Gue kalah start, Ra. Sama sahabat gue sendiri, bahkan.
Fajar yang peka akan sikap Dewa yang tak seperti biasanya pun, mengajak Dewa untuk menjauh. Dengan alasan ingin berbicara hal penting berdua saja. Dewa melepaskan tangan Fajar yang menggenggam erat tangannya.
"Oh pantes lo jomlo. Suka cowok ye lo?" tuduh Dewa membuat Fajar memutar bola matanya malas.
Dia menyuruh Dewa duduk. Sedangkan Fajar memilih untuk membeli minuman terlebih dahulu. Semilir angin yang berembus menerpa rambut lebat Dewa. Dewa hanya melirik langit malam yang terlihat tenang dan menghanyutkan. Membuat hatinya kembali bergerumuh mengingat perkataan Taksa tadi. Sial!
"Galau, Bang?"
Mendapati sebuah benda dingin menempel di pipinya, Dewa segera mengambil minuman dingin itu. Meneguknya hingga habis. Lantas terkekeh akibat pertanyaan konyol dari Fajar tadi. "Apaan lo? Dewa mah prinsipnya anti galau."
Fajar berdecak kesal. Menjitak keras kepala Dewa. "Jangan dikira gue bodoh, jingan. Kita kenal udah dari orok Ghama Dewa Baskoro! Gue bisa tau tatapan mata lo ke Lentera kayak gimana. Lama dan cepatnya lo kenal Lentera enggak berpengaruh buat perasaan lo. Cinta itu menghadirkan nyaman. Dan gue lihat elo nyaman kok. Lo bilang enggak, gue timpuk lo pakai sepatu gue!"
Mata Dewa tertuju pada sepatu Fajar yang masih kinclong dan bersih. Dia mendengkus geli. "Bilang aja lo mau pamer sepatu baru lo sama gue," balas Dewa kalem tetapi menusuk untuk Fajar. Ketahuan yang mau pamer.
"Ya itu salah satunya sih! Tapi kenapa lo jadi ngomongin sepatu gue sih kadal?"
"Ya lo lagian," ujar Dewa.
Fajar menelan roti yang baru dibelinya tadi. Lalu membenarkan duduknya. Berbicara pada Dewa memang butuh kesabaran lebih. Selain tak mau jujur pada Fajar, Dewa memang suka sekali mengalihkan pembicaraan. Dari yang tadinya pembahasan A jadi ke Z.
"Terus, kalau lo enggak suka sama si Lentera, ngapain lo buat peraturan nggak jelas itu? Pakai bilang kalau Lentera berhasil nggak suka sama lo, lo bakal jadiin dia pacar lagi. Gue tau lo, Wa. Lo nggak pernah ngelakuin hal aneh kayak gini," jelas Fajar akhirnya. Berniat ingin membuka mata dan hati Dewa.
Dewa tersenyum tipis. "Kalau Lentera-nya suka sama si Taksa dan dia seneng kenapa enggak, sih, Jar? Gue lebih suka kayak gini. Biar Lentera jadi adik kelas yang paling menyebalkan buat gue aja."
"Tap–"
"Please, Jar. Lo tau sahabat lo ini gimana. Pacaran itu enggak enak, di saat kita putus, kita jadi orang asing. Itu benar-benar menyebalkan buat gue. And, yeah, I don't want that to happen again with Lentera. Let me love that girl in silence. Let me feel this pain alone. Don't sue me to express this feeling. Because... I can't."
Fajar membalas perkataan Dewa dengan senyuman. Lalu menepuk pundak lelaki itu pelan. "Ya, gue juga enggak bisa memaksa lo. Ada dua pilihan, Wa. Lo mengungkapkan semuanya. Dan Lentera akan membalas perasaan lo, atau malah sebaliknya, Lentera akan pergi dari kehidupan lo. Pilihan kedua adalah, lo memilih diam dan lo menanggung semua yang lo rasakan sendiri."
Dewa diam. Hanya menatap Fajar dalam.
"Tentukan pilihan lo dari sekarang. Lo berani mencintai dalam diam. Berarti lo juga berani menanggung risiko bahwa Lentera juga enggak akan balas perasaan lo. Because, life is a choice. And every choice has a risk. Think again about what I said before you regret it."
🦋
Aku membuka Instagram karena ada satu notifikasi yang membuatku penasaran. Ku tengok, Taksa meng-tag akun Instagram milikku di story Instagram miliknya. Namun, bukan itu yang menjadi fokusku. Seseorang ber-Hoodie merah maroon tengah merangkul seorang gadis di depan sana. Dia adalah Dewa, tengah merangkul Maula.
"Kenapa harus fokus ke sana, sih?" gumamku sebal.
Memilih fokus pada story Instagram Taksa sepertinya lebih baik. Ku lihat, dia menuliskan sesuatu di sana.
Gue doang yang sendiri, lo enggak mau gitu temenin gue di sini?@lenterasgta_
Seharusnya aku senang, namun entah mengapa ini membuatku kesal. Ketika melihat Dewa yang tampak bahagia dengan Maula. Memilih tak peduli, aku ingin membalas saja story Instagram Taksa.
Boleh, Kak. Hehe:)
Terlanjur, Ra. Lama banget lo lihat story gue. Besok aja, gue punya kejutan buat lo.
Aku tak lagi membalas. Memilih mematikan ponsel milikku. Memeluk boneka beruang. Dan bersiap-siap ingin tidur. Aku bukan teman ataupun keluarga Dewa. Bukan siapa-siapa Dewa juga. Akan tetapi, mengapa aku cemburu melihat kebahagiaan Dewa dan Maula? Huh, entahlah.
Jika dia benar-benar bahagia bersama Maula, mengapa tidak, bukan?