Karena yang dilihat mata belum tentu sama dengan yang didengar telinga.
—Kakak Kelas.🦋
Sebuah video yang dikirimkan oleh nomor tak dikenal tadi terputar. Menampilkan Dewa dan Fajar yang tengah bercakap.
"Hahaha? Gue? Suka sama dia? Mau gue lempar sandal lo?! Lagian ya, kalau ada tameng pertahanan kayak tuh cewek kenapa nggak gue gunain coba? Toh, dia agak-agak bodoh. Selain bisa dimanfaatkan, tuh cewek tuh gampang baper. Dia bisa jadi alih perhatian biar Maula nyesel karena udah putusin gue, terus dia juga bisa buat gue jadiin babu. Dia bakal nganggep gue suka sama dia padahal enggak, Jar! Ah otak lo mah cetek ya mana bisa mikir sampai ke sana."
Fajar berdecih. "Kena karma mampus lo karena udah jadiin dia pelampiasan," peringat Fajar sembari membuang putu v rokoknya.
Kulihat dalam video itu Dewa terkekeh tak acuh. "Nggak akan. Tenang aja."
Ting!
+62 8xx-xxxx-xxxx
Di situ jelas, kan? Dewa hanya anggap lo sebagai pelampiasan dan lo itu dimanfaatkan, Lentera! Jangan bodoh!Memilih mematikan ponsel sepertinya adalah pilihan yang terbaik. Menonton video itu lama-lama juga tak baik. Ketika aku mengetahui yang sebenarnya terjadi dan ternyata itu tak sesuai harapanku. Benar, aku selalu menganggap semuanya berlebihan. Aku menatap lurus ke depan. Di mana semuanya terlihat kabur karena terhalau air mata yang hampir saja jatuh.
Sekumpulan memori tanpa diminta menghantam seperti sebuah tayangan yang diputar. Di mana masih ada canda dan tawa dengan Dewa yang sialnya aku anggap sebagai seseorang yang menyukaiku dengan tulus. Nyatanya? Semuanya hanya khayalan. Dia hanya berkata manis demi mendapatkan apa yang dia mau. Dan dengan bodohnya lagi aku menganggap bualan itu sebagai bentuk rasa yang Dewa punya padaku.
"Sial, Lentera! Kalau kamu nggak gampang kebawa suasana semua ini nggak akan terjadi! Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Aku merutuki diriku sendiri.
Kembali menghela napas dan bangkit berdiri. Tak peduli siapa pengirim video ini, aku sungguh berterima kasih padanya karena sudah mengungkapkan semua yang benar padaku. Menamparku dengan sangat keras. Bahwa dia tidak benar-benar mencintaiku. Akan aku garis bawahi itu jika bisa.
Terlihat Taksa tengah melambai padaku. Aku tersenyum tipis. Walau ada keinginan untuk menangis keras-keras saja atas apa yang telah aku pikirkan. Bodoh! Itu julukan yang pas untukku. Lebih tepatnya, Lentera bodoh!
"Lo kenapa? Masuk angin?" tanya Taksa tak masuk akal.
"Mungkin," jawabku berbohong.
"Ya udah ayo pulang."
Hingga kami meninggalkan pantai ini. Menatap pohon-pohon di seberang jalan yang tampak rindang. Hingga sebuah warung ayam geprek terpampang jelas di mataku. Sial! Itu ayam geprek kesukaan Dewa. Aku mendengkus. Rasanya benar-benar campur aduk tak dapat dimengerti. Aku tak tau apa yang hatiku inginkan saat ini.
"Lo beneran nggak mau ngomong sama Dewa gitu, Ra? Tentang perasaan lo. Atau, hal lain mungkin?"
Mengapa di saat aku ingin benar-benar melupakan Dewa, di saat itu juga semua memancingku untuk mengingat paras tampan lelaki itu?
"Mungkin nggak, Kak."
Tawa Taksa yang menggelegar memenuhi kesunyian jalan. "Kenapa selalu kata 'mungkin' yang keluar dari mulut lo? Lo ragu? Kalau lo ragu, tanya sama hati lo apa yang buat lo ragu. Selalu ragu juga nggak baik, Ra. Jangan lari dari masalah."
Entah memang dia bisa membaca pikiran orang atau memang wajahku yang terlihat sedikit kecewa, mungkin? Aku tau tau. Tak mau menjawab dan tak ingin mendengar apapun. Hingga tak terasa motor yang kami tumpangi sudah sampai di depan rumahku.
"Makasih, Kak. Dan maaf," ucapku pelan.
"Santai. Gue duluan."
Aku masih berdiri sampai motor Taksa tak terlihat. Ingin rasanya aku berteriak pada malam yang terlihat tenang. Arghh! Mengapa aku tak bisa menerima semua ini?
Aku masuk ke dalam rumah yang tampak sepi. Masuk ke kamar dan menguncinya rapat-rapat. Mematikan lampu hingga hanya ada cahaya remang yang dihasilkan dari jendela yang sengaja 'ku buka. Di tengah sepinya malam, aku menatap dinding, di mana tertempel foto-foto Dewa yang sengaja aku ambil diam-diam.
"Dia nggak suka kamu!" Aku menutup satu foto Dewa dengan sebuah kertas.
"Dia cuma manfaatin kamu."
"Dia cuma jadiin kamu pelampiasan."
"Dia cuma bohong."
"Kamu aja yang terlalu bawa perasaan karena emang pada dasarnya, dia nggak pernah suka kamu."
"Dasar Lentera bego! Udah bego, jelek, bodoh, hidup pula!"
Selesai. Semua foto itu sudah tak terlihat dengan kertas-kertas yang sengaja aku tempel. Satu yang aku tau malam ini adalah malam yang cukup menyakitkan. Ketika aku tau aku hanyalah sebuah pelampiasan.
"Arghh! Kenapa, sih? Kenapa harus kecewa? Kenapa harus merasa bahwa ini menyakitkan? Kenapa?!" rengekku entah pada siapa.
Dia nggak salah. Harapan kamu yang salah, terlalu tinggi dan terasa begitu menyakitkan ketika jatuh.
Sisi lain dari diriku menjawab dengan jahatnya. Benar, harapan adalah kata kuncinya. Aku terlalu yakin bahwa harapanku akan terwujud sehingga ketika harapan itu tak terpenuhi rasanya begitu menyakitkan.
Aku mengambil satu kertas, menuliskan sesuatu di sana. Menempelkannya pada dinding, tepatnya di samping foto Dewa yang masih terpampang jelas.
Jangan berharap lebih, dia tak akan menyukaimu.
🦋
Dewa, gue tandain ye muka lu🗿
Eh, ngerasa nggak sih kalian? Kek saya kalau buat cerita pasti awalannya aneh, nggak masuk akal, pasaran, aish🙂🗿
Padahal saya pengen buat cerita yang berkesan, banyak manfaatnya buat orang-orang, eh ini malah acak-acakan tulisan saya, alur ngalor ngidul nggak jelas😭
Eh malah jadi curhat, maap²
07 Mei 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAKAK KELAS [Selesai]
Historia CortaCover : Pinterest 📌 Konflik ringan. 📌 Quotes setiap part hanya untuk melengkapi. 📌 Minim amanat. 📌 Belum revisi, masih banyak kesalahan. 📌 DILARANG KERAS PLAGIAT! Kesalahan kecil yang dilakukan Lentera, membawa gadis itu pada Dewa. Cowok yang t...