• EKSTRA PART •
Mungkin, kamu bisa mengharapkan. Namun, jika Tuhan sudah berkehendak, maka kamu hanya bisa menjalankan.
—Kakak Kelas.🦋
"Mau ke mana sih, Ma?" tanya Luna sembari meraba-raba apa saja yang ada di depannya.
Pasalnya, matanya ditutupi oleh kain membuat gadis itu tak bisa melihat. Dina tersenyum tipis, membawa putrinya menuju sebuah tempat yang mungkin saja tak bisa Luna bayangkan sebelumnya. Dina mengelus rambut Luna lembut. "Mama punya kejutan buat kamu sayang," bisik Dina pelan membuat Luna semakin tak mengerti.
Rino—Papa Luna yang menyetir di depan hanya bisa tersenyum melihat kedua orang yang disayanginya di belakang. Setelah sampai, Dina menuntun Luna untuk berhati-hati berjalan. Dan sampailah mereka di sini. Sebelum itu, Dina melirik Rino dan tersenyum tipis lalu meninggalkan Luna sendiri.
Luna yang tak mengerti apa-apa hanya terdiam. "Pa? Ma? Kok sepi? Luna buka, ya?"
Tak mendapati jawaban apapun, Luna membuka dengan kasar kain yang sedari tadi menutupi matanya. Mata gadis itu mengerjap beberapa saat. Setelahnya, kening gadis itu bingung ketika tak mendapati siapapun di sana. Luna tak mengerti, mengapa Papa dan Mamanya membawa dirinya ke tempat ini? Luna menghela napas, tak mendapati apapun gadis itu ingin beranjak pergi.
Namun, saat kakinya berpijak ke tempat lain. Napas Luna tercekat mendapati sebuah nisan yang bertuliskan Algi Taksa Aldebaran. Buru-buru gadis itu berjongkok, memastikan matanya tak salah membaca tulisan itu. "N-nggak, nggak mungkin. G-gue salah baca, kan?" gumam Luna gemetar.
Setetes air mata jatuh mengenai pipi gadis itu. Luna menggeleng sekali lagi, berharap apa yang ia lihat bukanlah yang sebenarnya terjadi. Luna terisak pelan. "Gue nggak mau lo bercanda, Sa. Gue nggak mau. Please, siapapun bilang sama gue, kalau ini cuma rekayasa yang kalian buat. Buat bohongin gue ... gue mohon."
"Nggak ada kebohongan di sini, Lun. Apa yang lo lihat adalah apa yang sebenarnya terjadi. Nggak ada yang bohongin lo," ucap Dewa yang baru saja tiba-tiba datang dan menepuk pundak Luna.
Luna menatap Dewa marah. "Kenapa, Wa?! Kenapa Taksa pergi tinggalin gue? Untuk kali ini, gue cuma berharap kalian semua bohongin gue! Gue nggak mau ini terjadi, Wa. Gue nggak mau Taksa pergi," isak Luna.
Dewa terdiam tak mengatakan apapun. Lelaki itu mendekap Luna. Karena hanya Dewa yang tau banyak tentang Taksa dan Luna. Di samping itu, ada Fajar juga yang tengah berdiri di belakang Dewa. Fajar juga tak pernah menyangka hal ini akan terjadi padanya.
"Gue duluan." Fajar pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi.
Dewa menatap kepergian Fajar dalam diam. Sungguh, ia tau apa yang tengah dirasakan Fajar sekarang. Ditinggal orang yang ia sayang untuk menikah bukanlah sesuatu hal yang diinginkan, ditambah lagi dengan perjodohan yang dilakukan antara orang tua Fajar dan Luna membuat Fajar tambah stress karenanya.
"Lun, pulang, ya?" tanya Dewa pelan.
Luna menggeleng. "Tapi ... Taksa? Gue nggak mau tinggalin Taksa di sini, Wa. Gue nggak mau."
Dewa menangkup wajah Luna. "Terus lo mau ngapain? Di sini terus sampai lo bisa lihat wajah Taksa untuk kedua kalinya? Nggak akan bisa, Lun. Mau selama apapun lo di sini, lo nggak akan bisa lihat wajah Taksa dan peluk cowok itu. Dia udah nggak ada, Lun," lirih Dewa mencoba membuat Luna tersadar di alam nyatanya.
Luna menangis tanpa suara. Dia berbalik menatap makam Taksa lagi. "Tinggalin gue sendiri, Wa."
Dewa menghela napas lalu pergi seperti yang Luna mau. Luna berjongkok. Dia tersenyum. Mengusap nisan bertuliskan Algi Taksa Aldebaran itu. "Sorry, Sa. Sorry buat semuanya. Maaf dan terima kasih buat semuanya. Gue pergi, Sa."
KAMU SEDANG MEMBACA
KAKAK KELAS [Selesai]
Short StoryCover : Pinterest 📌 Konflik ringan. 📌 Quotes setiap part hanya untuk melengkapi. 📌 Minim amanat. 📌 Belum revisi, masih banyak kesalahan. 📌 DILARANG KERAS PLAGIAT! Kesalahan kecil yang dilakukan Lentera, membawa gadis itu pada Dewa. Cowok yang t...