SATU

355 59 9
                                    

Selamat membaca....

Denetha Winda Apriyanti atau biasa disapa Deneth, gadis cantik berambut sebahu itu baru saja selesai memakai seragam sekolah barunya. Hari ini adalah hari pertamanya menjalani masa SMA, masa yang orang bilang adalah masa paling indah. Gadis itu membuka pintu kamarnya, memperlihatkan kakaknya, Erika yang juga baru saja keluar dari kamarnya.

“Udah jadi anak SMA berarti harus dewasa,” ucap gadis itu kemudian berjalan mendahului Denetha, Denetha berdecih pelan kemudian menyusul kakaknya itu.

Bisa ia lihat rumahnya pagi ini terlihat seperti keluarga harmonis, adik dan kakaknya duduk di meja makan, ibunya sedang menyiapkan makanan, kemudian orang asing itu, ayah tirinya juga berada di sana. Denetha berjalan menuju ibunya,  menepuk pelan bahu wanita paruh baya itu.

“Deneth pergi dulu yah,” pamitnya sembari mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.

“Sarapan dulu, Deneth. Ini kan hari pertama kamu,” ucap ibunya, Denetha menggeleng pelan kemudian berbalik melirik sekilas kakak dan adiknya yang terlihat nyaman dengan kondisi keluarganya.

Rumah bagi Denetha sudah asing sejak tiga tahun yang lalu, orang tuanya bercerai saat ia baru saja masuk SMP. Ibunya ternyata menyukai laki-laki lain dan memilih menceraikan ayahnya. Hal yang tak bisa Denetha pahami adalah kenapa ia dan kedua saudaranya bisa terlahir jika ibunya tak pernah menyukai ayahnya, kemudian menikah dengan laki-laki lain yang sekarang menjadi ayah tirinya.

Gadis itu baru saja selesai mengikat tali sepatunya dan bersiap pergi dari rumahnya tapi tepukan dibahunya membuat gadis itu mengurungkan niatnya.

“Denetha, ini uang saku kamu,” gadis itu menoleh melihat ayah tirinya menyodorkan beberapa lembar uang padanya.

“Nggak, gue punya uang sendiri,” tolak gadis itu.

“Simpen aja, kamu bisa minta uang sama Papah,” Denetha tersenyum sinis mendengar ucapan laki-laki itu.

“Papah? Bokap gue cuma satu, nggak usah ngaku-ngaku,” putus Denetha  kemudian langsung pergi meninggalkan laki-laki paruh baya itu.

*****

Denetha baru saja tiba di sekolahnya, gadis itu melepas earphone yang menyumbat telinganya kemudian menatap sekolahnya itu.

“Lumayan, good looking,” gumam gadis itu pelan.

Sementara itu di sisi kanan gerbang sudah ada sekelompok laki-laki yang siap mencari sasaran mereka selama satu tahun ke depan. 

“Bang, itu bukannya cewek yang kemaren?” celetuk salah satu diantara mereka sembari menepuk bahu Wanda tak sabar.

Ya, Wanda. Laki-laki itu adalah senior yang hampir setiap tahun mencari target bullying. Tapi saat matanya menangkap Denetha berjalan  memasuki gerbang sekolah membuat ia semakin bersemangat.

“Samperin,” ucap Wanda kemudian menghampiri Denetha bersama teman-temannya.

Mereka menghalangi jalan Denetha, tentu saja gadis itu mengerutkan keningnya bingung.  Denetha bukan tipe orang yang mudah mengingat siapapun tapi jelas ia ingat Wanda karena kejadiannya baru terjadi kemarin.

“Dunia itu sempit yah? Ternyata kemarin lo masih anak SMP, berani banget ngelawan gue,” ucap Wanda mengintimidasi Denetha.

“Siapa yah? Anak komplek sebelah yah?” ucap Denetha berusaha senatural mungkin agar tak dikenali. “Gila, sorry-sorry gue lupa. Udah lama banget nggak main bareng,” Denetha tersenyum polos, masih melanjutkan aktingnya.

“Nggak usah sok polos, cewek sialan!” bentak Wanda yang seketika menjadikan mereka pusat perhatian.

“Kaget, bego!” teriak Denetha tak kalah keras, tentu saja orang-orang yang berlalu lalang dibuat terkejut.

Between Us ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang