DUA PULUH SATU

148 52 56
                                    

Selamat membaca....

Setelah bel pulang sekolah berbunyi Denetha memilih keluar langsung dari kelasnya. Mulai hari ini laki-laki yang biasa menunggunya di depan kelas sudah tak ada, laki-laki yang akan mengantarnya ke tempat les atau pulang juga sudah tak ada. Jelas ia merasa ada yang hilang, tapi Denetha harus terbiasa, Bara bukan segalanya.

Langkah gadis itu berhenti tepat di halte bus yang berada di depan sekolah. Meski sekarang sedang ramai-ramainya siswa-siswi yang keluar tapi Denetha mulai membiasakan diri. Padahal gadis itu paling benci berdesak-desakan, apalagi dalam angkutan umum yang rawan kejahatan.

Hampir lima belas menit gadis itu menunggu, bus yang datang akan langsung terisi penuh bahkan sebelum Denetha menggerakkan kakinya. Ia bukan ahlinya dalam berdesak-desakan, itu keahlian Tania. Denetha berusaha sabar menunggu sampai bus yang tak terlalu penuh datang kemudian menaikinya.

"Tha!"

Denetha menoleh, ia mendapati Samuel berjalan menghampirinya. Denetha memutar bola matanya malas, ia tak ingin berhubungan dengan siapapun yang akan membawanya ke Bara. Bahkan mungkin ia akan menjauhi Gema, meski ia mengenal Gema jauh sebelum ia mengenal Bara.

"Ck, ngapain lagi sih nih orang," gumam Denetha, jelas Samuel tak mendengarnya.

"Gue mau ngomong sebentar," ucap laki-laki itu.

"Dari tadi pagi lo ngajak gue ngomong terus, sampai bosen gue dengernya," balas Denetha tak suka, ia tak mau mendengar apapun jika itu menyangkut Bara.

"Kalo gitu biar gue yang ngomong."

Pandangan Denetha beralih ke arah Wanda, halte yang tadinya ramai seketika sepi saat sekelompok laki-laki itu datang. Tatapan Wanda pada Denetha pun berubah, senior yang selalu mengibarkan bendera perang pada Denetha itu mendadak sedikit sopan padanya.

"Lo bilang apa aja ke polisi?" tanya laki-laki itu.

"Bukan urusan lo," sahut Denetha.

"Lo tau Bara nggak mungkin ngelakuin itu," ucap David, kali ini laki-laki itu tak bisa tinggal diam.

"Gimana gue tau Bara orang kaya apa? Dia bahkan nggak pernah ngasih tau gue apapun!"

"Dia pacar lo, seenggaknya dia peduli sama lo!"

"Dia peduli sama gue? Lucu lo semua," sindir Denetha, gadis itu tersenyum meremehkan ke arah sekelompok laki-laki itu.

Denetha berbalik, nafasnya naik turun tak beraturan. Padahal beberapa menit yang lalu ia masih bisa mengatur emosinya, tapi sekarang rasanya emosinya sudah hampir meledak-ledak. Gadis itu berniat beranjak dari tempatnya, sebelum matanya menangkap laki-laki lain di depannya.

Gema, laki-laki itu menatap sendu ke arahnya. Sebuah tatapan yang sangat Denetha benci, tatapan yang sama dengan tiga tahun yang lalu. Laki-laki itu berjalan mendekat, pandangan keduanya terkunci untuk beberapa saat sebelum Gema membuka suaranya.

"Biar gue yang ngomong sama Denetha," ucap Gema kemudian menarik tangan Denetha dari sana.

Denetha berkali-kali menepis tangan Gema, tapi laki-laki itu bersikeras menariknya dari sana. Gema baru melepaskan tangan Denetha saat keduanya berada cukup jauh dari halte. Denetha menatap kesal ke arah laki-laki itu, berbeda dengan Gema yang justru tersenyum ke arahnya.

"Apa? Lo mau belain cowok itu juga?" tanya Denetha, bahkan gadis itu enggan menyebut nama Bara lagi.

"Dulu lo nggak sering marah-marah, sekarang marah-marah mulu," cibir Gema.

"Gue nggak lagi bercanda, Gema," kesal Denetha.

Gema menghela nafas pelan, benar apa yang dikatakan Bara, membujuk gadis ini bukan pekerjaan yang mudah.

Between Us ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang