DELAPAN BELAS

142 51 37
                                    

Selamat membaca....

Pagi itu sebelum bel berbunyi Bara sudah lebih dulu masuk ke dalam kelasnya. Memang bukan hal yang biasa laki-laki itu lakukan, tapi hari ini tubuhnya terasa tak enak. Bara bahkan tak sempat menjemput Denetha padahal ia tau gadis itu sendirian di rumah karena ayahnya pergi ke luar kota.

Sekitar lima menit Bara mendudukkan dirinya di kursi, kehebohan di depan kelasnya mulai mengganggu waktu istirahatnya. Bara mengangkat kepalanya, mendapati Rio, ketua kelasnya tengah mengobrol dengan seorang polisi. Laki-laki itu menatapnya, sembari mengatakan sesuatu yang entah dari posisi Bara saat itu ia tak dapat mendengarnya.

"Bar, lo dicariin," ucap siswa laki-laki itu, dua orang polisi yang tadi hanya berdiri di depan pintu pun ikut menghampirinya.

"Bara bisa ikut kami sebentar," ucap salah satu polisi dengan kumis tebal melintang, wajahnya garang, tubuhnya besar, tapi Bara hanya menatap bingung ke arahnya.

"Salah saya apa yah, Pak?" tanya Bara, ia merasa tak melakukan kesalahan apapun akhir-akhir ini.

"Kita bicarakan di kantor, sekarang kamu bisa ikut kami."

Bara menghela nafas, laki-laki itu bangun dari posisinya kemudian berjalan dibelakang kedua polisi itu. Ia tak bersalah, jadi ia tak perlu takut. Hanya itu yang ada dipikiran Bara, tapi langkah laki-laki itu berhenti saat mendapati Tania tengah berbicara dengan Denetha.

"Kasus mantannya yah?"

Samar-samar Bara mendengar obrolan siswi-siswi di dekatnya, darimana mereka tau berita itu. Bahkan selama Bara menjalin hubungan dengan Astrid tak pernah sekalipun ia mengenalkan gadis itu di sekolahnya. Meski hal itu hanya terdengar seperti rumor tapi Bara tak menyukainya, ia membenci semua yang berhubungan dengan masa lalunya.

"Pak? Salah saya apa?" tanya Bara saat laki-laki itu sudah berada di dekat ruang kepala sekolah.

"Keluarga Astrid dari Amerika, meminta kasus kematian Astrid untuk kembali diusut."

Tatapan Bara menajam, satu tahun sudah berlalu sejak kejadian itu bahkan tak ada satupun keluarga Astrid yang ingin membahasnya. Bahkan Bara selalu merasa hanya dirinya yang terjebak dengan masa lalunya. Tapi saat ia sudah berusaha keluar dari lingkaran itu, keluarga Astrid tiba-tiba datang kemudian kembali menyeretnya ke dalam lingkaran masa lalunya yang tak berujung.

"Bukannya tahun lalu mereka bilang nggak mau?" tanya Bara, ia masih menjaga cara bicaranya.

"Tahun lalu mereka terlalu shock dengan kematian putri tunggalnya."

Bara memejamkan matanya menahan emosi, alasan macam apa itu? Bahkan di hari pemakaman Astrid tak ada satupun diantara mereka yang menangis, lalu sekarang apa? Shock? Rasanya Bara ingin tertawa kencang mendengar kata itu, rasa peduli pun tak ada lalu mereka bisa shock.

"Saya tersangka utama di kasus ini?" tanya Bara.

"Untuk sekarang iya, kita akan selidiki semua orang yang bertemu dengan Astrid hari itu."

Bara menghela nafas kesal, laki-laki itu mengedarkan pandangannya. Ia mendapati Samuel, David, dan Galih tengah berjalan ke arahnya.

"Saya mau bicara dulu sama teman-teman saya," ucap Bara, laki-laki itu menghampiri ketiganya.

"Kenapa?" tanya David khawatir, laki-laki itu paling anti dengan tindakan kriminal apalagi sampai dicari polisi seperti Bara.

"Nggak ada apa-apa, awasin Denetha sama bang Wanda. Kalo bang Wanda mau bocorin rahasia Denetha, cari cara buat halangin," ucap Bara, entah kenapa yang keluar dari mulut laki-laki itu hanya kekhawatirannya tentang gadis itu.

Between Us ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang