Selamat membaca....
MOS hari kedua masih berjalan, kali ini Denetha dan seluruh siswa baru diberi perintah untuk mengenal nama-nama seniornya. Satu hal yang menurut Denetha kurang berfaedah, buktinya saja sejak tadi gadis itu hanya mengekor dibelakang kedua temannya. Alasan lainnya adalah karena nama Wanda juga tercantum di sana.
"Tha, buruan dong. Nanti kena marah kak Yuan!" kesal Tania melihat temannya itu seperti tak ada semangat di masa orientasinya.
"Gue nggak kenal ini, gue capek nih. Udah muterin satu sekolah juga!" sahut Denetha malas.
"Tapi kita bisa dihukum kalo nggak ngikutin perintah, Tha," kali ini giliran Cindy yang berbicara, salah satu kelemahan Denetha.
Saat Cindy yang membujuknya maka Denetha akan dengan mudahnya luluh. Tentu saja itu karena raut wajah Cindy yang sengaja dibuat-buat seolah ingin menangis dan berujung Denetha tak tega melihatnya.
"Iya-iya! Jangan nangis!" kesal Denetha, gadis itu kembali melanjutkan langkahnya.
"Giliran Cindy yang ngomong aja langsung buru-buru," cibir Tania sebal, ia merasa tak adil dengan perlakuan Denetha.
Sementara Cindy tersenyum senang, ia tau kelemahan Denetha karena itu ia sengaja membuat temannya itu mengalah.
Ketiganya kembali melanjutkan langkahnya ke lantai tiga, tempat dimana para senior sengaja berkumpul sekaligus bersembunyi. Bagi siswa senior hari-hari seperti sekarang itu seperti permainan yang menyenangkan, mereka bisa bersembunyi dan mengerjai adik kelasnya dengan sesuka hati. Berbanding terbalik bagi para murid baru, tiga hari masa orientasi adalah gerbang neraka.
Mereka yang sial mungkin kejadiannya akan terus diingat sampai menjelang kelulusan. Tapi mereka yang beruntung mungkin akan selamat atau malah mengalami masa-masa indah di sekolah. Misalnya saja berpacaran dengan senior yang populer atau selalu menjadi pusat perhatian di sekolah, atau bisa jadi hidup tenang selama tiga tahun masa SMA-nya seperti yang Denetha inginkan.
Di tengah-tengah koridor lantai tiga yang mulai ramai Denetha bisa melihat Bara dengan santainya melewati puluhan murid baru yang mengerumuninya. Jika Wanda sangat ditakuti karena laki-laki itu punya kekuasaan dan suka mengganggu siswa lain, maka berbeda dengan Bara.
Bara bukan siswa yang punya kekuasaan bahkan ia terkesan berada jauh di bawah Wanda. Tapi bukan berarti Bara tak lebih menakutkan dibanding Wanda, bukan rahasia umum lagi jika Wanda sendirilah yang meminta Bara untuk bergabung dengan gengnya. Berbeda dengan anggota lainnya yang harus rela dikerjai habis-habisan baru diijinkan masuk.
Laki-laki itu berjalan santai membelah kerumunan dengan wajah datar dan Denetha dengan santainya berjalan menghampiri laki-laki itu.
"Stop!" ucap Denetha menghentikan langkah Bara, laki-laki itu mengerutkan keningnya tak suka. "Bantuin gue."
Bara mengangkat sebelah alisnya tak paham, gadis di depannya itu selalu bertingkah aneh.
"Bantu apa? Lo nggak lagi diganggu," sahut laki-laki, sebuah keajaiban bagi seluruh siswi di sekolah bisa mendengar Bara berbicara tanpa nada tinggi.
"Mintain tanda tangan ke senior-senior yang lo kenal," suruh Denetha sembari menyodorkan buku ditangannya.
"Males, gue sibuk," putus Bara, laki-laki itu berniat melewati Denetha begitu saja.
"Please, Kak Bara," pinta Denetha, meski lidahnya terasa gatal menyebut laki-laki itu dengan embel-embel 'kakak'.
Sementara Bara terdiam di posisinya, entah kenapa suara Denetha kembali mengingatkannya pada seseorang. Jantungnya berdebar kencang, suara Denetha bergema di dalam kepalanya bersahutan dengan suara gadis yang selalu ia ingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us ✔️
Teen Fiction(Follow sebelum membaca) ***** "Woy, jangan nambah SAMPAH dong!" teriak Denetha keras-keras. Denetha tak menyangka bahwa awal masa SMA-nya akan berjalan penuh gangguan dari para seniornya. Berawal dari ia yang tak sengaja mengganggu aksi mereka, s...