TIGA PULUH LIMA

155 52 126
                                    

Selamat membaca....

Kemarin setelah pergi bersama Tania, Denetha langsung pulang ke rumahnya. Ada beberapa hal yang masih membuat gadis itu penasaran, hanya saja Denetha masih belum bisa menemui Cindy. Benar ucapan Tania, ia bukan tipe orang yang akan mengusut masalah dengan mudah.

Denetha terkadang lebih sering menyimpulkan masalah sendiri, saat bersama Bara bahkan bersama keluarganya. Tapi entah kenapa ia masih tak percaya pada Cindy, meski gadis itu mengaku, meski banyak bukti, Denetha masih tak percaya. Cindy sama berharganya seperti Tania.

Cindy adalah teman pertama Denetha setelah ia pindah dan tak berhubungan dengan Gema. Jika saja hari itu Cindy tak mendekatinya duluan, Denetha mungkin tak akan punya teman. Ia hanya akan terus jadi gadis menyebalkan tanpa ekspresi.

Berkat Cindy dan Tania ia mulai berubah, Denetha bisa merasakan hal-hal baik atau buruk dalam pertemanan. Tapi mendengar Cindy sudah melakukannya bahkan jauh sebelum mereka bertiga terbentuk benar-benar membuat Denetha kecewa. Jelas ia sangat kecewa, ia bertanya-tanya apa yang Cindy pikirkan saat itu? Kenapa ia sampai tega melakukannya? Meski itu demi Astrid, bukankah mereka juga berteman?

Paginya setelah bel istirahat pertama Cindy mengajaknya bertemu. Ya, Cindy yang mengajaknya tapi tanpa Tania. Denetha terpaksa curi-curi keadaan saat Tania sedang sibuk, gadis itu langsung menuju perpustakaan tempat Cindy mengajaknya bertemu.

Bukannya ia ingin membuat Tania semakin salah paham dengan keadaannya, hanya saja untuk saat ini ia harus tau alasan utamanya. Ia harus berbicara terlebih dahulu dengan Cindy, lalu mengatakannya pada Tania. Baru setelah itu Tania dan Cindy bisa berbaikan seperti semula, Denetha yakin.

Denetha menghentikan langkahnya di antara rak-rak buku di perpustakaan, gadis itu bisa melihat Cindy tengah menunggunya. Gadis itu menghela nafas pelan, semoga apa yang Cindy katakan tak akan membuat ia goyah. Semoga gadis itu benar-benar tak mengecewakannya.

"Deneth," panggil Cindy.

Denetha menghela nafas, lagi-lagi ekspresi itu. Entah kenapa akhir-akhir ini ia membenci ekspresi Cindy itu, terasa seperti drama baginya.

"Jangan pasang ekspresi kaya gitu di depan gue Cin, gue nggak akan luluh kali ini," ucap Denetha dan entah kenapa setelah Denetha mengatakan hal itu Cindy kembali berekspresi datar.

Denetha nyaris dibuat terkejut karena perubahan ekspresi Cindy yang seperti itu. Bagaimana mungkin gadis pendiam yang selalu menangis itu mendadak berekspresi seperti itu.

"Lo pasti marah sama gue," ucap Cindy, Denetha kembali menormalkan ekspresinya.

"Gue bisa tahan sampai lo jelasin," balas Deentha.

"Gue sama Astrid temanan, dari kecil. Astrid satu-satunya temen gue, tapi kita pisah sekolah karena perintah orang tua Astrid. Gue selalu kesepian, lo tau itu," Cindy menghentikan ceritanya kemudian menatap Denetha. "Itu sebabnya gue mau temenan sama lo, tapi gue tau lo sama Tania pasti temenan. Gue udah kehilangan Astrid karena dia punya kak Bara dan punya banyak temen, kalo lo juga temenan sama Tania. Artinya gue kehilangan lo sama kaya gue kehilangan Astrid."

"Tapi hubungan kita baik-baik aja, Cin. Lo sama Tania juga temenan."

"Gue, nggak suka sama Tania. Lo lebih akrab sama dia dibanding gue, padahal gue orang pertama yang deketin lo saat itu."

Denetha menatap Cindy tak percaya, lalu apa arti pertemanan mereka selama tiga tahun? Jika Cindy tak pernah menganggap Tania lalu apa?

"Jadi dua tahun yang lalu orang yang ngerobek kertas ulangan gue itu, lo bukan Tania?" tanya Denetha memastikan.

"I-iya, gue nggak tau kalo setelah itu lo sama Tania malah jadi deket."

"Cin, nggak gini juga caranya. Lo tau gue selama ini sama Tania selalu ribut sama hal kecil dan gue selalu mikir lo yang bisa ngertiin gue. Tapi lo sampai ngelakuin hal-hal kaya gini, lo pikir Astrid bakal suka?"

Between Us ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang