Selamat membaca....
"Gema?"
Flashback on
Tiga tahun yang lalu, tepatnya saat Denetha masih berada di sekolah dasar. Denetha termasuk siswi populer di kelasnya, pintar, cantik, pemberani dan ceria. Tak ada yang tau bagaimana gadis itu saat di rumah, hanya Gema yang tau.
Sore itu awal dari pertemanan mereka, rumah Gema berada tepat di samping rumah Denetha. Setiap hari Gema selalu pergi bermain bola di lapangan dan pulang saat hari mulai petang. Di hari pertama ia melihat Denetha duduk di teras Gema masih tak peduli, tapi satu kali sampai berkali-kali Denetha tak pernah pindah dari tempatnya.
"Gema! Cepet masuk! Mamah kan udah bilang kalo pulang jangan sore-sore! Jangan lupa harus sholat maghrib dong!"
Omelan yang selalu Gema dapat setiap kali pulang saat adzan maghrib berkumandang. Bukan sekali, dua kali ia bisa terkena pukulan oleh ibunya. Tapi Gema tak pernah kapok, itu adalah cara menjadi dewasa menurutnya.
"Mah, kenapa anak itu selalu duduk di sana setiap sore?" tanya Gema pada ibunya saat itu.
"Orang tuanya kerja, jadi nungguin sampai orang tuanya pulang. Makanya kamu bersyukur, meskipun kamu pulang maghrib terus tapi mamah tetep nungguin. Kalo kamu kaya dia gimana?"
"Kenapa orang tuanya nggak bawa dia aja, kan kasihan. Sebentar lagi maghrib, kata mamah kalo maghrib banyak setan yang keluar?"
Gema tak tau bahwa ucapan polosnya saat itu membuat ia mengenal Denetha, ibunya yang saat itu menanggapi ucapan Gema dengan senyuman adalah sebuah tanda tanya untuk Gema.
"Kalo gitu coba kamu ajak dia kesini," perintah ibu Gema.
Gema kecil berlari keluar kemudian berdiri di depan gerbang rumah Denetha. Sementara gadis itu menatap Gema dengan raut bingung, Denetha kecil memang ceria dan pemberani. Tapi gadis itu bahkan tak punya teman satupun, hidupnya ia lakukan sepenuhnya agar ibunya memperhatikan dirinya.
"Mau main ke rumah aku nggak?" tanya Gema sembari berteriak dari luar gerbang.
Denetha bangun dari duduknya, gadis itu berjalan mendekat ke arah anak laki-laki itu.
"Nama kamu siapa? Aku Gema, itu rumah aku," ucap Gema memperkenalkan diri karena merasa Denetha tak meresponnya.
"Denetha," sahut Denetha.
Gema tersenyum kemudian mengulurkan tangannya, mengajak Denetha bersalaman.
"Ayo temenan!"
Denetha tersenyum, mendengar seseorang mengajaknya berteman adalah hal yang baru ia rasakan. Selama ini banyak anak yang mendekatinya, mencoba akrab dengannya tapi tak ada satupun diantara mereka yang mengajaknya berteman. Hanya Gema yang mengulurkan tangan padanya dan mengajaknya berteman, kebahagiaan yang pertama kali Denetha rasakan dalam hidupnya.
Setelah hari itu Denetha dan Gema mulai berteman, usia keduanya yang terpaut satu tahun membuat keduanya kadang susah untuk bertemu. Gema yang sudah berada di bangku SMP terkadang pulang lebih sore dibanding Denetha. Keduanya hanya menghabiskan waktu saat malam hari, itupun karena Gema ingin menemani Denetha menunggu orang tuanya pulang.
"Kenapa kamu nggak pernah ikut ayah sama bunda kamu?" tanya Gema suatu sore.
"Nanti mobilnya sempit, kan udah ada kak Erika sama Erick," sahut Denetha, sebuah alasan yang menurut Gema saat ini sangat dewasa untuk anak SD.
Denetha selalu menyembunyikan kejadian sebenarnya dari Gema, ia tak mau jujur walau hanya dengan air mata. Ekspresi yang Denetha tunjukan pada Gema saat itu terasa seperti senyum getir seorang anak yang menahan rasa sakit. Tapi Gema tak tau apapun saat itu, ia hanya mengiyakan ucapan Denetha dan menganggapnya benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us ✔️
Ficção Adolescente(Follow sebelum membaca) ***** "Woy, jangan nambah SAMPAH dong!" teriak Denetha keras-keras. Denetha tak menyangka bahwa awal masa SMA-nya akan berjalan penuh gangguan dari para seniornya. Berawal dari ia yang tak sengaja mengganggu aksi mereka, s...