TIGA PULUH TIGA

159 48 132
                                    

Selamat membaca....

Gema mendorong motornya masuk ke dalam pagar rumahnya, laki-laki itu berniat tak membangunkan orang rumah di tengah malam seperti sekarang. Sekarang jam di lengan kirinya menunjukkan pukul setengah satu malam dan Gema dengan santainya baru tiba di rumah. Tak banyak yang berubah dari laki-laki itu, hanya saja saat ia masih kecil waktu paling lambat ia pulang adalah sebelum adzan maghrib berbeda dengan sekarang.

Setelah memastikan motornya dan gerbang rumahnya tertutup tanpa membangunkan ayah atau ibunya, Gema langsung menuju jalan pintasnya. Jendela kamarnya adalah alternatif selain pintu depan di saat genting seperti sekarang. Gema hanya perlu mencongkel pelan bagian bawah jendela dan jendela akan terbuka.

Pertama-tama ia melepas sepatunya untuk menghindari kemungkinan sepatunya akan menimbulkan kebisingan. Setelah sepatunya terlepas, maka ia akan memulai tugas utamanya yaitu mencongkel jendela kemudian melompat ke dalam kamarnya tanpa membuat keributan. Gema sudah sangat lihai dengan hal ini, ia sudah melakukannya sejak SMP dan misinya ini belum pernah gagal.

Gema menapakkan kakinya di lantai kamarnya kemudian menghela nafas pelan, sepertinya misi kali ini juga berjalan lancar. Gema berbalik, laki-laki itu menelan ludahnya susah payah saat mendapati sepasang mata menatapnya tajam. Gema hanya menunjukan cengiran khasnya sembari mengusap tengkuknya untuk menghilangkan rasa takutnya.

"Pulang jam satu, loncat jendela! Bagus yah Gema!"

Rima, ibu Gema. Wanita paruh baya itu berkacak pinggang menatap putra semata wayangnya yang semakin hari kelakuannya semakin meresahkan. Sejak awal Rima memang tak menyadari karena Gema sangat jarang membawa motornya, tapi kali ini Gema tidak rapi dalam melakukan misinya.

"Darimana kamu?!" tanya Rima, nada wanita paruh baya itu selalu meninggi saat Gema melakukan kesalahan.

"Pergi, Mah," sahut Gema takut-takut.

"Sampai selarut ini?"

Gema hanya mengangguk pelan, sejak kecil Gema sangat jarang melawan ucapan ibunya. Kelakuan kaya preman, muka kaya Shinchan, hatinya kaya Hello Kitty. Setidaknya itulah Gema menurut sudut pandang teman-temannya terutama Galih yang tak terima karena selalu dibilang kurang tampan dibanding Gema.

"Besok kan sekolah, kamu udah keseringan bolos loh!" marah Rima lagi.

Selama ini wanita paruh baya itu selalu membiarkan Gema melakukan apa yang putranya itu mau. Bahkan meski ia tau Gema sering membolos dan memilih datang ke warnet, Rima tak pernah marah. Tapi ia terlalu khawatir jika putranya itu selalu pulang malam sendirian, ia takut terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

"Maaf, Mah," lirih Gema, ia masih menunduk tak berani menatap wajah Rima.

"Taruh sepatunya, terus tidur!" perintah Rima tegas, wanita paruh baya itu berbalik berniat meninggalkan putranya. "Udah makan kan?"

Gema kembali mengangguk sembari tersenyum, Rima akhirnya mengangguk pelan lalu keluar dari kamar Gema. Gema menghela nafas lega, ibunya itu sangat baik hanya saja saat sedang marah kadang terasa seperti uji nyali. Ia tak pernah tau apa yang ibunya akan katakan saat marah karena ekspresinya sulit ditebak.

Gema menaruh sepatunya sembarang kemudian menjatuhkan tubuhnya di ranjang kamarnya. Laki-laki itu menatap langit-langit kamarnya, memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Ia tak tau masa lalu Bara benar-benar rumit dan yang lebih parah adalah karena Samuel ikut terlibat.

Gema menutup matanya, satu persatu ingatan tentang kejadian satu tahun yang lalu kembali. Ia sangat ingat saat itu tak ada masalah antara Bara, Astrid dan Samuel. Lalu entah sejak kapan masalah itu jadi rumit, padahal semula semuanya baik-baik saja.

Between Us ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang