DUA PULUH ENAM

143 49 103
                                    

Selamat membaca....

Bara baru saja tiba di rumahnya, pagi tadi kegiatan camping baru saja selesai. Setelah mengambil motornya di sekolah, Bara memilih bergegas pulang. Laki-laki itu menghentikan motornya tepat di depan rumahnya, kemudian berjalan turun dari motornya.

Semangat laki-laki itu terlihat hilang, ia berjalan gontai masuk ke dalam rumahnya. Suara riuh keluarganya tak mengganggu langkah laki-laki itu, ia terlalu lelah untuk ikut bergabung.

"Eh, Bara udah pulang?" tanya Dewi, pasalnya putra bungsunya itu masuk tanpa mengucap salam atau mengatakan apapun.

Bara menoleh menatap ibunya kemudian mengangguk pelan sembari terus melanjutkan langkahnya.

"Nggak seru nih, om Bara. Masa baru pulang nggak mau ketemu sama ponakannya, ya kan Niel?"

Ucapan Galang menghentikan langkah Bara, ia tau bukan itu maksud ucapan Galang. Kakaknya itu sebenarnya menyuruh Bara agar menyalami kedua orang tuanya, Bara sadar bahwa Galang sangat tak suka jika ia bertingkah kurang sopan. Bara berbalik berjalan ke arah keluarganya, menyalami mereka satu persatu termasuk keponakannya itu.

Bara mengambil duduk di samping keponakannya, anak kecil itu sibuk bernyanyi bersama Galang. Sementara Bara hanya memperhatikan, keluarganya benar-benar hangat berbeda dengan keluarga Denetha. Denetha? Hah, rasanya semakin ia melupakan gadis itu, semakin ia mengingat gadis itu.

Galang menoleh menatap adiknya yang terlihat lelah, entah tubuhnya saja yang terasa lelah atau hatinya juga ikut lelah. Galang tau akhir-akhir ini Bara sedang mengalami masa sulit karena kasus Astrid. Padahal yang adiknya lakukan hanya menemani Astrid sampai detik terakhir hidup gadis itu, tapi justru Bara menyalahkan dirinya sendiri karena kepergian Astrid.

"Bara?" panggil Rean, laki-laki itu menoleh menatap ayahnya.

"Kenapa, Pah?" tanya Bara, laki-laki itu menegakkan tubuhnya saat ayahnya itu mulai mengajaknya berbicara.

"Kamu nganter Denetha pulang dulu tadi?"

Bara menatap ayahnya sebentar, laki-laki itu mengusap bagian belakang lehernya pelan kemudian menggeleng.

"Nggak," sahut Bara.

"Kenapa?" kali ini giliran Dewi yang bertanya.

"Udah putus."

Ruangan itu mendadak hening, hanya suara televisi dan suara Daniel yang sedang bermain sendirian. Rean, Dewi, Galang dan Dhea hanya terdiam mendengar jawaban Bara. Sampai akhirnya suara Galang menghilangkan keheningan di ruangan itu.

"Pfftt, lo diputusin yah? Hahaha!"

Demi apapun hal menyebalkan di dunia ini, bolehkah Bara berharap ia lahir lebih dulu dibanding Galang. Laki-laki itu sangat menyebalkan, jika saja Bara tak ingat dosa pasti sudah sejak dulu ia masukan kakaknya ke dalam perut ibunya lagi.

"Galang," peringat Dewi, wanita paruh baya itu paham betul kelakuan Galang yang sangat suka mengganggu adiknya.

Galang berhenti tertawa kemudian kembali menatap adiknya itu.

"Pantesan aja muka lo asem dari tadi," ucap Galang, Bara hanya menghela nafas pelan.

"Kok bisa?" tanya Dhea, ikut penasaran.

"Ya bisalah, namanya juga pacaran. Ya pasti putus," sahut Bara malas, laki-laki itu bangun dari duduknya. "Bara capek, mau istirahat."

Bara memilih mengakhiri pembicaraan itu, ia terlalu lelah untuk melanjutkan pembicaraan. Laki-laki itu memilih masuk ke dalam kamarnya, membiarkan keluarganya bingung dengan jawaban Bara yang sebenarnya. Jauh lebih baik keluarganya tak tau apapun, semakin mereka tau maka semakin mereka penasaran akan hal itu.

Between Us ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang