ENAM

158 50 16
                                    

Selamat membaca....

Setelah kejadian di rumahnya, Denetha bergegas pergi ke rumah ayahnya. Mungkin menemui orang yang ia sayang bisa sedikit mengobati rasa sakitnya. Sepanjang perjalanan siapapun yang melihat Denetha pasti bisa tau gadis itu sedang punya masalah.

Sejak kecil Denetha tak pernah menutupi perasaannya, jika ia tak suka maka ia akan mengatakannya dan jika ia menyukainya maka ia akan mengatakannya. Begitu pula dengan orang-orang yang bersamanya, dulu ia tak menyukai Tania karena gadis itu terlalu ingin terkenal. Maka Denetha sering-sering membuat Tania malu di depan umum agar gadis itu terkenal.

Tapi siapa yang menyangka kini keduanya justru berteman dekat, bukan hanya dengan Tania tapi juga pada Cindy. Sebenarnya Denetha cenderung tak suka bergaul dan jika ada yang mendekatinya tapi Denetha tak suka maka gadis itu akan dengan tegas menolak.

Denetha berhenti di halte bus dekat tempat lesnya, gadis itu melihat Bara tengah duduk menyandar di motornya. Entah apa yang laki-laki itu lakukan, Denetha tak bisa menebak ekspresi wajahnya. Denetha berjalan mendekat ke arah Bara berniat sekedar menyapa laki-laki itu.

"Bara?"

Laki-laki itu menoleh, menatap Denetha cukup lama. Denetha yang tak paham kenapa laki-laki itu menatapnya mengangkat sebelah alisnya.

"Kenapa?" tanya Denetha.

"Lo mau kemana?" laki-laki itu justru balik bertanya.

"Tau darimana gue mau pergi?"

"Cuma nebak," sahutnya.

"Mau ke rumah bokap gue," ucap Denetha memberitahu tujuannya hari ini, Bara menoleh menatap Denetha kembali.

"Mau gue anter?" tanya laki-laki itu, kening Denetha berkerut mendengar pertanyaan Bara.

"Tumben baik," cibir Denetha.

"Emang biasanya nggak?" sindir Bara sembari menatap tajam gadis itu.

"Nggak usah, jangan nambah masalah sama Wanda," ucap Denetha sembari menghela nafas pelan.

"Kalo lo khawatir, buruan minta maaf ke bang Wanda," suruh laki-laki itu, Denetha tersenyum meledek.

"Tapi gue pikir-pikir, sekali-kali dapet masalah nggak papa sih," ucapnya dengan senyum yang dipaksakan.

Bara terkekeh melihat tingkah gadis itu, benar-benar keras kepala. Satu sifat yang tak bisa ia lupakan dari orang di masa lalunya, Astrid.

Tapi semenjak ia bertemu Denetha, ia selalu merasa Denetha adalah cerminan dari Astrid. Bara akui wajah keduanya mirip, tapi sifat keduanya sangat berbanding terbalik. Kecuali bagaimana sifat keras kepala keduanya bisa benar-benar sama. Bahkan mengingat itu saja membuat Bara kembali merasakan sakit.

"Kalo gitu gue pergi yah?" ucap gadis itu, pandangannya tertuju pada bus yang berjalan ke arahnya.

Bara mengangguk pelan, laki-laki itu masih menatap kepergian Denetha dalam diam. Kejadian yang dulu selalu ia lakukan, mengantar Astrid sampai di halte kemudian menatap gadis itu yang berlari memasuki bus. Sekarang hal itu ia lakukan lagi, bukan bersama Astrid tapi bersama Denetha.

*****

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh Denetha akhirnya tiba di rumah ayahnya. Denetha mencengkram erat kedua tali tas punggungnya, ia sedang berusaha menutupi rasa sakitnya. Perlahan gadis itu membuka pagar kayu itu kemudian berjalan masuk ke dalamnya.

"Ayah!" panggilnya dari halaman rumah saat melihat ayahnya tengah duduk di teras rumah bersama seorang laki-laki paruh baya.

Deni menoleh, melihat putrinya datang. Laki-laki itu tersenyum tipis, bukan tak senang putrinya datang ke sini hanya saja ia tau alasan kenapa putrinya datang ke sini. Selama tiga tahun ia pergi tak pernah terlintas sedikitpun bahwa kepergiannya itu membuat putrinya itu menyimpan lebih banyak luka.

Between Us ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang