DUA PULUH DUA

145 51 50
                                    

Selamat membaca....

Denetha sekarang tengah duduk di teras rumahnya, gadis itu baru saja selesai memakai sepatu putih miliknya. Gadis itu berdiri dari duduknya kemudian bersiap pergi ke sekolah. Ayahnya sudah pergi lebih dulu, sementara asisten rumah tangganya masih sibuk di belakang.

Denetha berjalan ke arah gerbang kemudian menarik pagar putih di depannya itu.

"Anjir!" pekik Denetha.

Gadis itu dibuat terkejut dengan laki-laki yang tengah duduk di atas motor. Padahal beberapa menit yang lalu saat gadis itu baru saja ingin membuka pagar rumah ayahnya, tak ada siapapun di sana. Tapi sekarang tiba-tiba saja ada seseorang tepat di depan pagar rumahnya, padahal pagar rumah Denetha hanya setinggi dada orang dewasa.

"Ngapain lo?" tanya Denetha, gadis itu terlihat tak suka dengan seseorang yang berada di depan rumahnya.

"Lo yang ngapain? Telpon gue nggak diangkat, chat juga nggak dibales," sahut laki-laki itu.

"Ketiduran," balas Denetha malas.

"Ketiduran atau pura-pura tidur," sindirnya.

"Mau lo apa sih, Bara?"

Bara, iya laki-laki itu adalah Bara. Sejak pukul enam pagi laki-laki itu sudah berada di sana, memastikan Denetha belum pergi dari rumahnya. Jelas Bara merasa kalau gadis itu menghindarinya, tapi Bara akan berusaha mencari tau alasan gadis itu.

"Lo kenapa? Ngambek?" tanya laki-laki itu.

"Ngapain gue ngambek, buang waktu," sahut Denetha kesal.

"Terus kenapa ngehindar dari gue?"

"Siapa? Gue? Nggak."

Denetha memilih tak menatap Bara, untuk sekarang gadis itu harus mengurangi kontak mata dengan laki-laki itu. Denetha salah sudah salah paham pada Bara, tapi Bara juga salah karena tak pernah mengatakan apapun padanya. Jika Bara tak ingin memberitahu apapun padanya, seharusnya laki-laki itu bisa menyembunyikan rahasianya dengan baik dan jangan sampai membuat Denetha penasaran.

Denetha bukan tipe orang yang akan menyerap berita hanya karena mendengar dari orang lain. Tapi mengingat bagaimana cerita Samuel dan Gema kemarin, ia yakin Bara sangat menyayangi gadis bernama Astrid itu. Lalu bagaimana dengan Denetha? Apakah ia hanya benar-benar pelampiasan?

Denetha bahkan tak bisa mengetahui perasaan Bara yang sebenarnya pada dirinya. Setidaknya jika laki-laki itu ingin melindunginya karena kedua orang tua mereka berteman, Denetha masih bisa memaklumi. Tapi jika laki-laki itu melakukannya karena rasa kasihan, sungguh Denetha tak ingin menemui laki-laki sama seperti saat ia meninggalkan Gema.

Bagi Denetha lebih baik ia tak dilihat seperti dulu saat masih kecil di rumahnya. Daripada sekarang, ayah tirinya mulai memperhatikannya karena merasa kasihan. Denetha benci itu, apalagi jika orang yang melakukan itu adalah orang yang ia suka seperti Bara.

"Lo nggak mau ketemu sama gue?" tanya Bara lagi, laki-laki itu berusaha agar Denetha mau melakukan kontak mata dengannya.

"Apaan sih lo, udahlah gue mau ke sekolah," putus Denetha, gadis itu berniat meninggalkan Bara tapi tangan laki-laki itu lebih dulu meraihnya.

"Bego lo, lupa kita satu sekolah?" sindir Bara.

Dalam hati Denetha merutuki kebodohannya sendiri, benar-benar memalukan. Jika saja ia tak sedang jual mahal pada Bara pasti ia tak akan semalu ini. Tapi sekarang kondisinya benar-benar membuat Denetha ingin menghilang dari sana secepatnya.

"I-iya, tapi lo kan senior. Gue kan masih murid baru," sahut Denetha.

"Cepet naik!" perintah Bara.

"Nggak usah, gue mau naik bus aja hari ini."

Between Us ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang